PAGE 3

313 48 22
                                    

Malam itu langit bersenandung dengan petir. Namun, tiada rintik hujan turun dari gumpalan kapas kusam di atas sana. Cakrawala tidak dihiasi bintang, seperti sosok yang bersedih tetapi enggan untuk mengeluarkan kerundungannya.

Angin kencang bergejolak dari sisi lain jendela. Seakan-akan datang dari berbagai arah saling bertarung dan bersaing untuk menghancurkan keramah-tamahan. Angin-angin itu ditemani dengan suara gemuruh yang kesannya tak akan pernah berhenti. Para pekerja kantoran seharusnya sudah pulang ke rumah masing-masing. 

Saat ini adalah waktu terbaik bagi mereka untuk beristirahat, sekedar membaca buku, minum teh herbal, atau bergelung bersama dengan kekasih di tempat tidur.

Jika ada keluarga, mereka akan membacakan dongeng sebelum tidur untuk buah hati mereka. Sang ibu akan menghangatkan jamuan makan malam untuk ayah yang baru pulang kerja. Kemudian mereka akan bercengkrama di meja makan, tentang betapa bahagianya kehidupan mereka. 

Yang jelas cuaca seperti ini, mampu menghancurkan momentum semacam itu. 

Akan tetapi, meskipun suasana disekitar telah bekerja keras, ia tidak akan mampu menghancurkan kehangatan yang ada di dalam diri pria ini karena hatinya telah porak-poranda oleh bercak kemunafikan dunia. 

Jas hitam Louis Vuitton terpajang pas dengan kemeja yang juga berwarna senada diatas raganya. Sebuah demonstrasi sempurna akan teknologi Rolex, sea-dweller di pergelangan tangan kiri. Sarung tangan kulit berwarna hitam, dan sepasang A Testoni dikakinya.

Mata setajam elang itu menguasai setiap tatapan di dalam ruangan. Rumah tamu yang semula hangat, tiba-tiba berubah menjadi dingin akan kedatangannya. Kemudian pria itu berdiri dihadapan ceruk jendela kecil, membelakangi beberapa orang yang tak bergeming. 

Ada sekitar lima orang di ruang tamu. Tidak ada yang kurus pun lemah. Bertahtakan kewaspadaan, mereka menunggu datangnya seseorang.

"Tn. Wang"

ucap salah satu orang yang sepertinya baru saja masuk ke dalam rumah tamu sederhana itu. Sementara sosok yang terpanggil itu menoleh, mengangkat sebelah alisnya seperti memberi ijin seseorang didepannya untuk meneruskan.

"Tim inti sudah kembali"

Dia yang memiliki arti nama 'keturunan raja' itu mengangguk, mempersilahkan rekannya untuk melakukan sesuatu yang ia kehendaki.  Si anak buah dengan sigap berpamitan dan menaati semua titahnya.

Sementara ia mengenali dirinya sendiri sebagai Jackson Wang, rekan-rekannya hanya memanggil dia dengan sebutan 'Wang'. 

Tidak banyak yang orang-orang tahu tentang kelompoknya karena eksistensinya memang terkesan disembunyikan. Komunitas pembunuh bayaran hanya tahu jika kelompoknya yang masif itu benar adanya dan siap menerkam kapan saja jika mulut siapapun berani menantang.

Akan tetapi, apa yang terlihat diluar sangat bertolak belakang. Menunjukkan betapa hiperbolanya opini publik. Boleh jadi Jackson memiliki beberapa armada di setiap benua, persenjataan yang seperti disediakan tanpa akhir, dan reputasi yang jelas layak untuk dipamerkan.

Akan tetapi, semua kekayaan itu berfungsi sebagi tirai kelemahannya. Yaitu identitasnya dan sesuatu yang berkaitan dengan masa lalunya.

Ia masih ingat betul, seorang anak ingusan yang sok tahu akan banyak hal. Ada sebuah imaji dimana anak laki-laki itu menggandeng seorang anak perempuan yang sedang menangis. 

Tautan tangan kedua anak itu tidak pernah terlepas. Bahkan ketika sekelompok orang dengan paksa memasukkan mereka ke dalam truk bak terbuka, menaiki sampan berukuran sedang berlayar entah kemana.

JEWEL IN THE MIST [Day6 x Got7] | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang