Zhavier memandangi tangan kanannya yang saat ini sudah dibalut sempurna oleh gips yang baru saja usai dipasang oleh dokter yang menanganinya. Kalau tadi yang ia rasakan adalah denyutan dan nyeri pada sekitaran pergelangan tangan, kini tangan kanannya itu serasa mati rasa. Ia juga tidak dapat menggerakkan tangannya lagi dengan bebas karena ruang geraknya dibatasi oleh gips itu.
Zhavier menghela napas berat. Ia teringat akan presentasi yang harus ia laksanakan beberapa hari ke-depan.
Bagaimana melakukannya dengan maksimal jika tangan kananku di-gips begini?, Pikirnya.
Lalu setelah sang dokter menjelaskan bagaimana cara merawat gips, waktu yang dibutuhkan untuk benar-benar pulih, dan semacamnya, ia pun keluar meninggalkan Zhavier yang ditemani oleh Felicia. Tepat setelah sang dokter meninggalkan ruangan tersebut, ayah Zhavier yang baru saja sampai segera menghampiri anak semata wayangnya.
"Zhavier. Gimana kata dokter?" Tanya ayahnya khawatir.
"Gapapa, Pa. Cuma retak doang kok. Tapi kayaknya butuh waktu dua atau tiga bulan buat pulih." Jelas Zhavier sesuai dengan apa yang ia dengar dari dokter yang menanganinya tadi.
"Gimana sih ceritanya? Kok bisa begini?" Tanya pria paruh baya itu.
"Em... maaf, Om. Itu salah saya, tadi saya kepleset pas mau turun tangga." Felicia yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, kini buka suara. "Jadi.. ketimpa Zhavier..."
Ayah Zhavier yang tadi sempat mengabaikan Felicia karena terlalu fokus kepada putranya, kini menoleh lalu memandang Felicia. Gadis itu terlihat murung sekali.
"Enggak kok, Pa. Tadi itu ada bapak-bapak yang gak sengaja nabrak Felicia. Terus Felicianya kehilangan keseimbangan, kena aku. Terus kami jatuh dari tangga deh." Ringkas Zhavier. Ia menceritakan yang sebenarnya. "Salahku juga, tadi aku jalannya mundur."
"Felicia siapa?" Tanya ayah Zhavier bingung.
"Dia Felicia, Pa." Tunjuk Zhavier dengan cara menggerakkan dagunya ke arah gadis tersebut.
"Oh..." ayah Zhavier manggut-manggut. Ia memandang perempuan itu dengan tatapan curiga.
Siapa perempuan ini?, begitulah maksud dari tatapannya.
"Maaf ya, Om." Tutur Felicia sekali lagi.
"Bukan salah kamu loh, Fel." Gumam Zhavier. "Dari tadi dia nyalahin diri sendiri terus, Pa." Adunya pada sang ayah.
Kenapa Zhavier sangat membelanya?, batin ayah Zhavier lagi. Pasti mereka berdua punya hubungan spesial!, seru sang ayah semangat, tapi di dalam hati.
"Kamu sih, kalau jalan itu yang bener. Jangan mundur-mundur." Omel sang ayah pada anaknya itu. "Kan jadi begini."
"Iya.. maaf deh, Pa." Gerutu Zhavier. "Ngomong-ngomong administrasinya belum diurus loh, Pa. Obatnya juga belum diambil."
"Jadi?" Sahut sang ayah lugu.
"Tolong diurus ya, Pa?" Pinta Zhavier dengan mata kucingnya yang sok memelas.
Ayah Zhavier menghela napas perlahan lalu mengangguk pelan. "Yaudah. Tunggu di sini ya." Kata pria itu seraya beranjak pergi meninggalkan ruangan tersebut.
"Makasih, Pa." Pekik Zhavier saat ayahnya belum benar-benar menghilang dari ruangan tersebut.
Lalu ia memandang Felicia yang masih diam menunduk. "Fel?" Tegurnya. "Kok diam aja?"
Yang ditegur pun segera mengangkat dagunya untuk memandang Zhavier. "Ya?" Jawabnya begitu.
"Kok murung sih?" Protes Zhavier. "Saya yang sakit, kok kamu yang galau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER YOU
Romance[Sekuel SWEET PEA] Zhavier kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan S1-nya di kota New York. Ia kembali dan mengambil alih perusahaan kakeknya lalu menjadi CEO muda di sana. Kini setelah perusahaan itu berada di tangannya, semuanya men...