Chapter 30 : Siklus

40 3 0
                                    

Zhavier merebahkan dirinya dengan posisi telentang, akibat tangannya yang di-gips itu, ia tak dapat memutar badan ke kanan, dan sedikit sulit untuk memutar badan ke kiri karena beban gipsnya. Ia memandang langit-langit kosong, menunggu rasa kantuk menghampirinya, walau itu tak kunjung datang juga.

Dan lagi-lagi pikirannya tertuju pada presentasi yang harus dihadapinya pada empat hari yang akan datang. Ia memang sudah mengerjakan setengahnya dengan bantuan sobatnya pada siang hari tadi, tapi tetap saja rasa khawatir akan keadaannya yang sekarang ini membuatnya tidak percaya diri dan takut gagal.

Gimana caranya bisa presentasi dengan maksimal kalau tangan kanan-ku aja lagi terluka begini?, tanyanya dalam hati.

Tak lama setelah merenung dalam kesendiriannya, suara ketukan pintu kamarnya pun menyapa Zhavier.

"Papa masuk ya..." kata suara dari balik pintu yang ternyata adalah Gilang, ayah Zhavier.

Zhavier yang tadinya telentang, kini berusaha dengan keras untuk duduk dan bersandar pada sandaran kasurnya.

"Kenapa, Pa?" Tanya Zhavier saat sang ayah masuk ke dalam kamar putra satu-satunya.

"Mulai besok sampai kamu sembuh, kamu kerja diantar sama Pak Doni aja ya?" Tawar Gilang.

Zhavier dengan mudahnya setuju lalu mengangguk. "Ya. Lagian gak mungkin juga aku nyetir satu tangan begini." Tukasnya seraya memandang gipsnya.

"Baiklah. Oh iya soal pekerjaanmu, Papa udah bilang ke Kakek kalau kamu lagi sakit. Kakek bakalan ngurangin kerjaanmu jadi kamu bisa lebih santai dan gak usah terlalu merasa terbebani ya." Pinta Gilang.

Ya, Kakek Zhavier adalah owner perusahaan tersebut, jadi beliau tidak akan lepas tangan jika terjadi sesuatu pada pengelola perusahaan tertingginya, Zhavier.

Zhavier mengangguk pelan, lalu ia memandang sang Ayah yang berada di pinggir kasur. "Pa, soal tender perusahaan yang aku menangkan beberapa hari yang lalu, tetap aku yang handle kan?" Tanyanya.

"Hm... kamu yakin? Kakek bilang biar bawahan kamu aja yang ngurus, Zha. Kamu fokus pulihin tangan kamu aja dulu."

"Jangan. Aku aja, Pa. Tadi siang udah aku kerjain setengah, termasuk kontraknya." Kata Zhavier.

"Yakin?" Tanya sang ayah sekali lagi.

"Iya. Aku yakin bisa ngejelasin ke mereka soal pelaksanaan pekerjaannya." Jawab Zhavier, walau sebenarnya hatinya masih sedikit ragu karena keadaan saat ini.

Gilang tersenyum simpul seraya membalas, "Ya sudah. Papa percaya sama kamu. Tapi jangan terlalu maksain diri ya. Kalau butuh bantuan, bilang aja. Oke?"

Zhavier mengangguk kecil.

"Kalau gitu, sekarang kamu istirahat ya, nak." Tukas Gilang seraya beranjak dari kamar tidur Zhavier. "Selamat malam."

"Selamat malam, Pa." Balas Zhavier.

Segera setelah pintu kamarnya tertutup rapat, Zhavier bangkit dari kasurnya seraya mengambil ponsel yang sedari-tadi tergeletak di end table samping kasurnya. Mencari-cari sebuah nomor di dalam kontak ponselnya. Nayla. Ya, ini masih seputar tentang gadis itu. Zhavier memang berniat untuk menelepon gadis itu, tapi ia takut Nayla akan terganggu jika tiba-tiba menelepon. Jadi ia membuka aplikasi LINE lalu mengirimi gadis itu sebuah pesan.

Zhavier : Nay, aku telepon bentar boleh?
Penting soalnya.

Zhavier tidak tahu apa jawaban yang akan ia terima nantinya. Tapi apa pun itu, ia masih berharap Nayla mau menerima teleponnya.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya balasan pesan masuk.

Nayla : Oke.

Zhavier tersenyum lebar. Ia pun segera menelepon gadis itu dengan semangat setelah mendapat izin darinya. Tapi sebelum itu, Zhavier sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menelepon Nayla sebagai seorang teman, bukan sebagai seorang mantan kekasih yang merindukannya.

AFTER YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang