Akhirnya hari ini datang juga, hari dimana Zhavier akan melepas gips yang membalut tangannya dua bulan terakhir. Zhavier tampak begitu semangat dalam menyelesaikan pekerjaannya hari ini. Begitu waktu menunjukkan pukul lima sore, ia segera mematikan komputer yang ada di meja kantornya lalu beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan ruangan kerjanya.
Bersama dengan sopir pribadinya, ia pun melaju menuju rumah sakit tempat ia berkonsultasi setiap dua minggu sekali dalam dua bulan terakhir. Pria itu tampak begitu antusias dan tak sabar ingin beraktivitas seperti dahulu tanpa adanya gangguan. Begitu namanya dipanggil, Zhavier pun segera masuk ke dalam ruangan dokter.
"Selamat sore, Zhavier." Sapa sang dokter dengan akrab.
"Selamat sore, dok." Balas Zhavier dengan ramah sambil menganggukkan kepalanya pelan.
"Sudah siap dilepas gipsnya?" Tanya dokter itu.
"Siap, dok." Balas Zhavier semangat, wajahnya tampak begitu cerah.
Dokter yang memperhatikan raut wajah Zhavier itupun tertawa kecil. "Begitu gips ini dilepas, kamu harus lebih berhati-hati lagi ya supaya tanganmu tidak patah lagi." Pinta sang dokter.
"Baik, dok. Saya akan lebih berhati-hati lagi." Kata Zhavier.
Setelah itu sang dokter yang tadinya duduk, kini berdiri dan segera mencuci tangannya. Dengan dibantu oleh seorang perawat, sang dokter pun mulai membuka gips sesuai dengan prosedur secara berhati-hati lalu memotong gips tersebut pada kedua sisi. Begitu gips yang membalut tangan Zhavier itu telah lepas sepenuhnya, seorang perawat lainnya datang lalu membersihkan kulit tangan Zhavier dengan menggunakan sabun yang lunak dan air. Kemudian, tangannya dikeringkan dengan lap dan diberikan krim kulit.
"Coba gerakkan, Zhavier." Perintah sang dokter, dan jadilah seperti yang dikatakan dokter itu. Zhavier menggerakkan pergelangan tangannya perlahan dan... Voila! Tangannya tidak merasakan nyeri atau sakit lagi.
"Masih ada terasa sakit?" Tanya sang dokter, memastikan.
Zhavier menggeleng pelan seraya menjawab, "Tidak, dok."
"Baguslah..."
Setelah prosedur selesai, sang dokter pun menjelaskan perlunya perawatan tindak lanjut dan latihan atau kunjungan pada ahli fisioterapi. "Ini hanya untuk berjaga-jaga saja." Kata sang dokter. "Kamu bisa mengunjunginya minggu depan."
"Baik, dok." Jawab Zhavier dengan patuh.
Sebenarnya Zhavier ingin Felicia jadi orang pertama yang melihat tangan kanannya bergerak bebas tanpa gips --karena kecelakaan itu berhubungan dengannya-- tapi karena Felicia sedang tidak ada di sana dan ia juga tidak memberi tahu tentang itu, Pak Doni jadi orang pertama yang melihatnya melepas gips.
Leganya, kini ia bisa memakai baju dengan benar tanpa harus menggulung-gulung lengan bagian kanannya karena gips dan kini ia bebas memilih outfit manapun yang ia sukai.
***
"DOR!" Pekik Steffy mengagetkan Felicia yang sedang sibuk berkutat dengan ponselnya.
Lantas Felicia pun tersentak kaget seraya berkata, "Astaga, jangan buat kaget dong, Stef."
"Habis lo kayak sibuk banget sama hp lo. Ngechat siapa sih?" Tanya Steffy penasaran. Ia yang tadinya memandang Felicia, kini mengalihkan lirikkannya kepada layar hp yang dipegang oleh sahabatnya.
"Oh! Zhavier?" Serunya heboh.
"Ssshhh!" Desis Felicia sambil menempatkan jari telunjuknya tepat di depan bibirnya. Pandangannya mulai menoleh pada sekitar kafe yang masih sepi karena hanya diisi oleh dua orang saja. "Kalau orang dengar gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER YOU
Romance[Sekuel SWEET PEA] Zhavier kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan S1-nya di kota New York. Ia kembali dan mengambil alih perusahaan kakeknya lalu menjadi CEO muda di sana. Kini setelah perusahaan itu berada di tangannya, semuanya men...