Chapter 43 : Takut Goyah

40 2 0
                                    

Tanpa sepatah kata lagi, Felicia berjalan cepat meninggalkan Nathan begitu saja seusai membalas sapaan darinya. Saat ini, entah kenapa, tubuhnya seolah sedang memberikan sinyal untuk segera menjauh dari orang itu. Ya ampun, kenapa bisa jumpa dia di sini?!, batinnya.

"Hei, Fel..." tegur Nathan, ia menyusul Felicia yang hendak meninggalkannya. "Fel!" Tak kunjung digubris juga, ia pun meraih lengan wanita itu sampai Felicia berhenti dari niatnya untuk kabur.

Lantas, Felicia pun terpaksa menoleh dan memandang Nathan. "Kenapa?" Tanyanya.

"Kamu yang kenapa?" Nathan malah balik bertanya. "Kok kabur gitu?"

Felicia mengernyitkan dahinya. "Aku.... buru-buru." Jawabnya asal.

"Mau kemana?"

"Toilet." Kata Felicia, ia lalu melepaskan tangan Nathan seraya pergi meninggalkan pria itu tanpa melihat ke belakang lagi.

Sementara Nathan yang ditinggalkan hanya diam pada posisinya, memandang Felicia yang pada akhirnya menghilang dari hadapannya.

***

Begitu ia rasa sudah meninggalkan Nathan jauh di belakang, Felicia menoleh sedikit ke belakang, lalu segera menyembunyikan dirinya di balik rak yang penuh dengan susunan berbagai merk deterjen. Sembari bersandar pada rak tersebut, ia mulai menarik napas dalam-dalam, memutar ulang reka kejadian yang barusan ia alami tadi, seraya berusaha mencerna apakah itu tadi kenyataan atau hanya halusinasi belaka.

Gadis itu menghela napas panjang, ia tidak habis pikir, dari sekian banyaknya supermarket, kenapa Nathan memilih untuk berbelanja di sini? Dan kenapa juga Nathan harus berbelanja di hari yang sama dengannya? Ugh. Dan yang paling menyebalkan adalah Nathan hadir kembali dan menyapanya dengan santai, seolah-olah tidak terjadi apa-apa diantara mereka.

Oke-oke. Tenang, Fel.... Prioritasmu adalah beli jajan, bukan dia..., kata Felicia yang sedang berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia pun memutuskan untuk kembali ke rak bagian snack. Sama seperti Nathan yang berlaku seolah tidak terjadi apa-apa, Felicia juga begitu. Ia akan berakting seolah kepergian Nathan waktu itu tidak mempengaruhinya sama sekali.

Ya begitu saja!, tukasnya dalam hati. Tapi setelah jaraknya dengan rak bagian snack tinggal beberapa langkah lagi, Felicia mengurungkan niatnya. Ia tidak berani sama sekali. Ia bisa merasakan suara jantungnya yang berdebar kencang saat memikirkan kemungkinan bahwa Nathan masih berada di sana.

Bagaimana jika nanti Nathan mengira bahwa ia belum bisa move on? Atau bagaimana jika nanti Nathan mengajaknya untuk balikan? Dan yang paling penting, bagaimana kalau ia goyah nanti? Kemungkinan-kemungkinan semacam itu pun mulai memenuhi pikirannya sedikit demi sedikit.

Jujur saja, dulu, Felicia memang sangat menantikan agar momen ini terjadi. Ia sangat ingin bertemu lagi dengan Nathan, agar ia bisa menunjukkan kepada pria itu bahwa ia sudah move on dengan benar. Intinya, ia hanya ingin membuat Nathan menyesal karena sudah meninggalkannya begitu saja. Tapi begitu momen yang ia harapkan itu benar-benar terjadi, Felicia malah kewalahan dan tidak tahu harus berbuat apa. Niatnya untuk membuat mantan menyesal malah hilang begitu saja, digantikan dengan perasaan gelisah karena kehadiran mantan yang tiba-tiba saat ia bahkan belum diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri.

Felicia yang sempat berdiam diri sambil menggigit bibir bawahnya itu pun pada akhirnya menyerah. Ia meletakkan kembali keranjang belanja yang sedari-tadi ia tenteng, lalu memutar jalan untuk menemui sang ibu.

***

Hari Senin dan jam makan siang. Dua hal itu selalu sukses mengubah keadaan kafe Voila yang tadinya sepi pengunjung, kini menjadi lebih ramai karena banyaknya orang-orang yang berkumpul di sana. Entah itu datang untuk makan siang, nongkrong bersama teman, ataupun sekadar membeli kopi untuk menghilangkan rasa kantuk pada jam-jam berat seperti ini.

AFTER YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang