Chapter 14 : Pandangan Pertama

54 4 22
                                    

Tepat setelah Felicia masuk ke dalam rumahnya, ia mendapati sang ayah yang tengah duduk di salah satu sofa ruang keluarga rumah tersebut sembari bertanya kepadanya,"Kemana saja kamu?"

"Habis jalan-jalan, Yah." Jawab Felicia sembari menunduk, tak berani menatap wajah pria paruh baya tersebut.

"Sama siapa?"
Sama dengan Felicia, saat bicara, sang ayah juga tak mau menatap putri satu-satunya itu. Seolah tak ingin berhadapan namun masih perlu bicara, dan satu kata yang dapat menggambarkan sikap sang ayah Felicia kali ini ialah ngambek.

"Sama teman...." balas Felicia pelan.

"Bilangnya mau ke toilet, tapi malah kabur terus jalan-jalan. Kamu tahu gak kalau Ayah malu sekali di depan mereka?" Tutur sang Ayah.

"Iya... Cia minta maaf, Yah." Gumam Felicia, masih menunduk.

"Lain kali kalau ada acara perusahaan seperti itu, kamu tidak boleh kabur lagi, Cia. Kamu tahu kan betapa pentingnya pembicaraan kita dengan keluarga Adrian? Dan kita gak bisa bicarain pertunangan itu kalau kamunya gak ada." Jelas ayah Felicia.

Felicia tersentak, egonya tersentil. Barusan sang ayah menyebutkan pertunangan. Ya. Pertunangan. Dengan siapa lagi kalau bukan dengan Adrian. Felicia yang tadinya menunduk, kini melihat ayahnya dengan tatapan nanar.

"Memangnya siapa yang mau tunangan? Bukan aku." Ujar gadis itu, memancing keributan. Padahal ia sudah paham sejak awal.

"Kamu, dengan Adrian."

"Kenapa aku? Aku kan gak bilang mau bertunangan dengan Adrian." Bantah Felicia.

"Ya, tapi Ayah sudah memutuskannya."

"Kenapa Ayah memutuskan seenaknya aja?" Nada Felicia mulai meninggi, sehingga ibu Felicia yang tadinya berada di dapur, kini datang menuju ruang keluarga di mana Felicia dan ayahnya berada.

"Ayah tahu yang terbaik buat kamu. Adrian itu pria yang baik. Kalau dengannya kamu pasti bahagia, Cia!" Ayah Felicia yang tadinya duduk, kini berdiri lalu mendekati Felicia.

"Siapa Ayah memutuskan masa depanku?! Aku gak mau. Aku gak mau kalau harus disuruh bertunangan dengan dia. Apalagi menikah!" Bentak Felicia.

"Felicia. Rendahkan suaramu!" Tegur sang ibu yang turut berbicara.

"Percayalah, Cia. Mungkin awalnya kamu susah untuk menerima, tapi nanti setelah kamu jalani, perlahan-lahan kamu pasti bisa terima." Ujar sang ayah berusaha menenangkan putrinya.

"Enggak!" Sanggah Felicia, matanya mulai berkaca dan air matanya mulai jatuh. "Ayah yang punya hutang, kenapa aku yang dijual?" Protesnya dengan suara yang mulai serak.

"Felicia. Jaga omonganmu, Ayah tidak menjualmu!" Kata ibunya. "Dia cuma mau yang terbaik buat kamu."

"Aku tahu, Bu. Aku tahu kalau keluarga kita merasa berhutang budi atas kebaikan keluarga Adrian. Tapi bisa gak kita membalasnya dengan cara lain? Jangan seperti ini." Tangis Felicia memecah, tepat setelah air matanya menetes ke pipi, ia segera berlari masuk ke kamarnya.

"Felicia!" Panggil ayahnya yang berakhir pada pengabaian oleh sang anak.

"Kurasa pertunangan ini memang gak boleh dilanjutkan, Yah." Ujar Ibu Felicia sambil menghela napas, ia mendekati sang suami lalu mengusap-usap pundaknya.

"Gak bisa, Bu. Ayah gak bisa menjanjikan apa-apa sama Cia. Kalau Cia menikah dengan Adrian kan setidaknya Ayah bisa tenang karena masa depannya terjamin." Tutur ayah Felicia. "Ayah cuma khawatir sama kehidupan Felicia nanti, Ayah gak punya apa-apa lagi..."

"Ya, Ibu tahu kalau maksud Ayah baik. Tapi Felicia gak paham soal itu, Yah." Balas sang ibu. "Mungkin Cia butuh waktu... jangan didesak begitu, Yah."

AFTER YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang