1 (G)

176 43 2
                                    

CLAIRE

Wajahnya sepucat bulan sedang bibirnya yang tipis itu membiru. Kedua mata sendu yang kuingat itu kini terpejam, rambut kemerahannya menekuk dengan kaku dan jari-jarinya mengeriput. Aku menatap jasad ibuku yang terkujur kaku di atas kain putih, berusaha mengingat bagaimana wanita itu menatapku dulu: sendu dan kosong. Ia berdiri di belakang jendela, diam dan melihatku sekilas kemudian ia akan mengalihkan pandangannya secepat mungkin ke luar jendela – selalu ke arah yang sama. Mungkin, menatap langit lebih baik baginya ketimbang menatapku. Tapi itulah yang dia lakukan.

Suatu malam aku mendengar suara pecahan kaca dari kamarnya dan ia mulai berteriak keras hingga membuatku ketakutan. Hazel menarikku untuk keluar dari rumah, tapi aku begitu ketakutan hingga aku menolak.

“Wanita itu gila,” Hazel selalu menyebutnya begitu dan aku menyadari betapa miripnya sikap keras mereka.

Dalam hari-hari terburuknya di sepanjang musim panas tahun itu, aku sering melihatnya mengurung diri di dalam kamar dengan ditemani oleh alkohol dan obat-obatan yang berserakan di atas mejanya. Ketika malam, ia masih terjaga, duduk di atas sofa tua dan memandang ke arah perapian. Ia akan duduk di sana hingga fajar dan tidak melakukan apapun selain memandangi lidah api yang menjilat kayu bakar di perapian.
Pagi berikutnya ia pergi. Laurie datang dan menawarkan diri untuk merawat kami. Sebagai gantinya pengasuh itu dapat tinggal bersama kami di dalam rumah yang cukup besar ini. Hazel marah besar ketika mengetahui kalau Marie meninggalkan kami kelaparan di dalam rumah sebesar itu, tapi Hazel lebih membencinya ketika melihat wanita itu berdiri di dalam biara tua bersama sang pastur. Aku tidak memiliki suatu apapun untuk dikatakan saat itu, tapi aku tahu apa yang benar-benar ingin kutanyakan padanya: mengapa ia mengambil keputusan itu?

Menjadi biarawati yang melayani gereja adalah pilihannya. Ia menyerahkan segala urusan rumah tangga pada Laurie sehingga membuat Hazel begitu marah. Hazel menolak untuk menemuinya meskipun aku tahu bagaimana dia begitu menyayangi Hazel melebihi siapapun. Aku – entah bagaimana, akan selalu menjadi orang yang terakhir dilihatnya, tapi aku meyakini bahwa kali ini aku menjadi orang pertama yang melihat jasadnya di rumah kami.

Pihak kepolisian telah berbicara denganku, mereka ingin aku mengidentifikasi jasadnya dan mengizinkanku untuk mengadakan pemakaman lusa mendatang. Ketika pertama kali petugas itu menurunkan jasadnya, tubuhku telah bergetar dan Ashley disisi lain menolak untuk mendekat. Gadis itu hanya menyaksikan dari balik pintu kamarnya. Aku menatapnya sekilas, kengerian muncul di wajahnya dan suatu sensasi asing telah mengocok seisi perutku, membuatku ingin muntah.

“Kau baik-baik saja Miss Foy?” tanya deputi Ellis di sebelahku. Laki-laki itu meletakkan tangannya yang besar di atas pundakku.

Aku mengangguk. Sembari melangkah mendekati jasad itu, aku mengepalkan tanganku erat-erat, mengerjapkan mata berkali-kali hingga kupikir mataku hendak melompat keluar.

“Itu dia,” kataku. “Bagaimana ini terjadi?”

“Suster Marie diperkirakan melompat dari atas tebing. Kami sudah meyelidiki TKP dan kami tidak menemukan tanda-tanda perlawanan. Tidak ada barang bukti yang membenarkan dugaan kalau mungkin saja ada orang lain yang terlibat, jadi untuk sementara kami baru dapat menyimpulkan bahwa ini adalah kasus bunuh diri sama seperti kasus yang pernah terjadi belasan tahun silam.”

“Ya, aku tahu. Tapi dia tidak mungkin melompat begitu saja, maksudku..”

“Itu yang ingin kami tanyakan. Kau putrinya, kau seharusnya lebih tahu.”

Tirai jendela di seberangku bergerak-gerak, semilir angin lembut dari pekarangan rumah kami menyusup masuk ke dalam. Selama sesaat pikiranku kosong, mataku memandang ke segala arah – kemanapun kecuali ke arah jasad itu, hingga kupikir aku baru saja melihatmu berdiri di luar sana, tepat di antara pepohonan besar yang sama seperti malam ketika aku melihatmu mengadakan pertemuan rahasia bersama Hazel. Aku mengerjapkan mataku sekali lagi, berusaha mengusir bayanganmu, tapi kau benar-benar berdiri di sana, menunggu hingga suara berisik dari radio panggil milik seorang petugas kepolisian di dalam ruangan itu menyadarkanku.

“Pak,” kata petugas itu pada deputi Ellis yang masih berdiri di belakangku. “Sheriff Wendell ingin berbicara denganmu.”

Deputi Ellis mengangguk, ia menyentuh bahuku sekilas kemudian bergerak pergi meninggalkan pintu. Dari tempat yang sama, aku melihat deputi Ellis mendekatimu dan kau mulai berbicara. Aku mengalihkan pandanganku secepat mungkin, berusaha untuk bersikap kuat menghadapi jasad itu – lagi. Kali ini, Ashley muncul di lorong, wajahnya tampak pucat dan remaja itu masih mengenakan sweter hijau yang sama seperti yang dipakainya kemarin.

“Kapan mereka akan membawanya pergi?” Ashley menatap ngeri ke arah jasad ibuku seolah hendak menegaskan pertanyaannya.

“Aku tidak tahu,” kataku. “.. tapi aku sudah selesai.”

Seorang petugas yang tertinggal di sana mengangguk, ia kemudian bergerak untuk menutupi jasad itu menggunakan kain dan membawanya keluar.

Beritahu saya tanggapan kalian untuk cerita ini 😁

THE NURTURE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang