2 (B)

135 31 2
                                    

ELEANOR

Eleanor suka memerhatikan lidah api itu menjilat kayu bakar di perapian. Ia dapat melakukan kebiasaan-kebiasaan aneh saat melakukannya seperti duduk menikmati soda sembari memandangi perapian, atau mengikir kuku-kuku jarinya di dekat perapian dan terkadang hanya duduk diam di sana memadang ke arah perapian hingga api di dalamnya mulai padam. Ia akan mulai memilih buku favoritnya untuk dibacakan sang pastur ketika malam dan dan siang harinya, Eleanor sanggup duduk berjam-jam di belakang jendela dan melakukan kegiatan rumah seperti menyulam, atau bermain gitar. Kecintaannya pada musik itu sudah ada sejak dulu. Namun beberapa tahun terakhir sejak pernikahannya bersama Keith Wendell, Eleanor jarang melakukan pekerjaan itu lagi dan ia mulai disibukkan oleh tugas mengelola administrasi di dalam biara itu.

Pamannya, sang pastur, mengizinkan Eleanor menggunakan ruang perpustakaan untuk menjadi tempat kerjanya. Karena Eleanor begitu menyukai buku, maka ruangan ini menjadi pilihan terbaik dari ruangan-ruangan kosong lainnya di dalam biara. Tahun-tahun awal pernikahannya berjalan cukup sulit. Perkerjaan Keith mununtut laki-laki itu untuk tetap terjaga di malam hari dan nyaris setiap malam mereka tidak pernah berbagi ranjang yang sama. Suaminya begitu tertutup. Ia akan menolak untuk membicarakan masalah pekerjaannya dengan Eleanor dan memilih untuk berada di luar selama berjam-jam ketimbang menghabiskan waktunya bersama Eleanor. Terkadang, Eleanor berpikir kalau Keith hanya berpura-pura. Masa lalunya memang buruk, namun hanya sebatas itu Eleanor mengetahuinya. Keith tidak pernah benar-benar buka mulut tentang apa yang menimpanya dan hal yang sama membuat Eleanor merasa dinomor duakan.

Biara ini telah menjadi tempat pelarian Eleanor selama bertahun-tahun. Pamannya akan menjadi orang pertama yang mengetahui masalah Eleanor dan setiap malam, ketika Eleanor semakin tidak tahan dengan pernikahannya bersama Keith, ia memutuskan untuk tinggal di dalam biara itu bersama para biarawati lainnya.

Malam hari di tempat ini tidak begitu buruk kecuali karena Eleanor harus mematuhi semua aturannya: tidur sebelum pukul sembilan, bangun lebih awal, bekerja lebih awal dan melakukan kegiatan yang biasa tidak dilakukannya di rumah. Itu bukan satu-satunya hal terburuk yang dapat ia lakukan. Dalam beberapa kesempatan Eleanor suka menyendiri di ruangannya dan mulai memikirkan banyak hal. Terkadang Eleanor memikirkan Doris. Wanita itu menghabiskan sepanjang hidupnya di dalam rumah sakit jiwa. Hubungan mereka tidak pernah menjadi cukup dekat, bahkan wanita itu nyaris tidak pernah berbicara dengannya.

Penyakit itu memakan pikirannya. Sikapnya sekaligus membuat Eleanor lantas membenci wanita itu. Tapi ketika Eleanor tumbuh semakin dewasa ia menyadari bahwa ada beberapa hal buruk yang mungkin tidak akan berubah. Mengetahui sikap Doris terhadapnya mungkin bukanlah hal yang begitu buruk. Menikahi sheriff di kota itu adalah yang terburuk.

Eleanor sedang memikirkan Keith ketika sang pastur datang. Laki-laki itu telah memilih tempat nyamannya di atas sofa tua dengan bantalan kulit. Ia bisa duduk di sana selama berjam-jam sembari membaca buku di pangkuannya. Terkadang Eleanor akan duduk besandar di kakinya dengan lengan terjulur di atas lutut sang pastur. Laki-laki itu meletakkan satu tangannya yang hangat di atas kepala Eleanor dan mulai mengusap rambutnya sembari menggumamkan kutipan doa. Dalam hari-hari terburuk yang dialaminya, suara-suara itu entah bagaimana mampu menenangkan Eleanor. Ia akan melihat dirinya di cermin: menggunakan pakaian lama milik ibunya sembari duduk bersandar pada sang pastur. Matanya memandang ke arah cermin dan pemandangan itu mengingatkan Eleanor pada lukisan kuno yang dipajang di aula. Gambaran wajah sang pastur yang semakin menua dengan cahaya api dari perapian yang membanjiri wajahnya, sebuah sofa kulit tua berwarna merah yang digunakannya sebagai tempat duduk dan al-kitab tebal di atas pangkuannya, juga seorang gadis yang memandangi wajahnya sendiri di cermin sembari duduk bersandar di kaki sang pastur. Rak-rak buku yang berjejer tinggi di belakang mereka, sebuah patung kayu dan lubang perapian hanya menjadi latar pendukung.

Eleanor memadangi laki-laki itu dengan sendu. Hawa panas mengairi wajahnya, terus bergerak naik hingga membuat kedua matanya terasa menyengat. Sang pastur semakin tua, ia bukan laki-laki yang sama yang dilihat Eleanor ketika ia masih remaja. Setelah bertahun-tahun, mereka tidak melakukan kebiasaan itu lagi. Sang pastur tidak lagi duduk di tepi kasurnya dan membacakan kisah dalam buku favorit Eleanor. Lelaki itu seringnya hanya berdiri di belakang pintu kamar Eleanor dan menyaksikan Eleanor tertidur. Terkadang Elanor merindukan masa-masa itu. Sang pastur telah hadir sebagai satu-satunya sosok keluarga yang dikenal Eleanor. Perannya dalam hidup Eleanor sangatlah besar – nyaris tidak ada siapapun yang akan menggantikannya.

Ketika Eleanor sedang berkutat dengan pikirannya, ia mendengar suara mesin mobil yang bergemuruh di bawah sana juga suara ban yang menggilas kerikil kecil di halaman depan biara. Eleanor bergerak menyibak tirai jendela dan mengintip ke bawah sana. Sang pastur telah berdiri dari sofa. Ketika Eleanor berbalik, laki-laki itu mengangguk pelan.

“Dia datang.”

Beritahu saya tanggapan kalian untuk cerita ini 😁

THE NURTURE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang