10 (A)

120 33 1
                                    

ELEANOR

Eleanor suka menatap kursi milik ibunya di dalam ruangan itu. Ia bisa menghabiskan satu malam untuk duduk di sana dan membaca buku favoritnya. Dulu ruangan itu selalu hangat. Jendelanya terbuka lebar dan sinar matahari membanjiri lantai kayunya. Dindingnya kosong. Dinding itu diberi cat berwarna merah tua dan pintu kayunya selalu dibiarkan terbuka. Eleanor sering melihat ibunya duduk di atas kasur, diam dan menatap kosong ke arah birai jendela. Pecahan kaca berserakan di atas lantai. Eleanor menyaksikan bagaimana wanita itu melukai kakinya. Tiba-tiba ruangan yang terasa nyaman menjadi ruangan paling buruk yang pernah dibayangkannya. Pakaian kotor berserakan dimana-mana, sampah-sampah kertas memenuhi seisi kasur, dan darah dari telapak kaki wanita itu merembet di atas lantai dan membentuk jejak yang memanjang menuju jendela.

Setiap malam terasa panjang dan menyiksa. Eleanor tidak benar-benar merasa nyaman ketika ia harus ditinggal sendirian di dalam rumah itu bersama ibunya. Wanita itu gila dan setiap malam Eleanor sering melihatnya berkeliaran di halaman depan, terkadang ia menyebut-nyebut tentang makhluk seperti ghoul dan roh-roh jahat. Eleanor begitu ketakutan hingga ia terus bersembunyi di dalam kamarnya, menutup pintu kamar itu rapat-rapat dan menguncinya kemudian menunggu hingga sang pastur datang.

Sesekali, Eleanor hanya menatap ke arah kusen pintu itu yang sedikit terbuka itu dari dalam kamarnya. Saat malam tiba, lorong-lorong di rumahnya menjadi gelap pekat dan Eleanor suka mendengar suara-suara aneh yang berasal dari kamar ibunya. Suatu malam Eleanor mendengar suara derap langkah kaki yang ringan di depan kamarnya. Ia terjaga dari tidurnya dan beringsut di atas kasur sembari menekuk lutut. Malam itu ia menyaksikan pintu kamarnya diseger terbuka. Suara deritannya yang melengking memenuhi seisi ruangan dan dalam cahaya remang-remang, Eleanor melihat ibunya berdiri di ambang pintu, bergeming sembari mencengkram gagang pintu itu dengan kuat.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Eleanor dengan takut.

Tiba-tiba wanita itu berlari dan menerjangnya. Eleanor berusaha menghindar namun ia tidak cukup cepat. Tubuhnya berkali-kali lebih kecil dari wanita itu dan ia hanyalah anak kecil berusia enam tahun yang ketakutan. Eleanor menjerit saat wanita itu mencekiknya, tangannya menggapai-gapai di udara, ia berusaha mencakar wajah wanita itu hingga Eleanor nyaris kehabisan nafas.

“Doris!”

Suara itu berasal dari arah pintu. Sang pastur berlari untuk menyelamatkannya. Ia mejauhkan Eleanor dari jangkauan Doris dan menatap ibunya dengan marah.

“Apa yang kau lakukan pada putrimu?”

Dari balik tubuh pamannya, Eleanor menyaksikan bibir wanita itu bergetar, matanya mulai berair dan jari-jari tangannya menekuk dengan kaku. Doris meringkuk di atas lantai, menangis dan berteriak ketika Sang Pastur membawa Eleanor keluar dari dalam rumah itu dan bergerak menuju mobilnya. Ia meletakkan Eleanor di kursi penumpang, memasangkan sabuk pengaman di tubuhnya kemudian mengusap wajah Eleanor.

“Tidak apa-apa, sayang. Kau tidak akan kembali kesini. Aku tidak akan membiarkannya menyakitimu lagi.”

Eleanor terus menangis namun itu adalah kali terakhir ia melihat rumah lamanya. Setelah bertahun-tahun, kebencian itu tumbuh begitu saja. Eleanor suka melihat anak-anak yang bermain di halaman depan rumahnya dan berpikir tentang ibunya yang gila atau kehidupannya yang menyedihkan. Ia selamanya terkurung di dalam tembok biara itu dan hanya dapat memandang keluar tanpa merasakan bagaimana rasanya berbaur dengan anak-anak seusianya.

Insiden malam itu sekaligus membuat ibunya berakhir di dalam rumah sakit jiwa. Sang Pastur tidak mengizinkan Eleanor menemui Doris atau membiarkannya menatap wanita itu barang sedetikpun. Ia tidak ingin membangkitkan ingatan tentang malam itu. Statusnya tidak lagi sama. Sang Pastur memintanya untuk melupakan Doris, mengatakan pada orang-orang bahwa Eleanor adalah anak asuhannya dan membuat semua orang memercayai itu. Itu satu-satunya cara agar orang-orang tidak memperlakukan Eleanor dengan buruk. Tidak ada yang tahu jika Doris melahirkan seorang anak perempuan setelah insiden pemerkosaannya dengan seorang pria bernama Ramon itu. Eleanor selalu membenci nama itu - Ramon. Laki-laki tidak bertanggungjawab yang meninggalkannya bersama wanita gila seperti ibunya. Terkadang Eleanor merasa tenang mengetahui bahwa laki-laki itu telah mati dan terkubur di atas bukit. Disanalah tempat yang pantas untuk para pendosa. Tidak hanya sekali ia tergoda untuk menggali makam itu dan melihat wajahnya yang kotor dan meludahinya, namun pamannya pasti telah memastikan hal itu. Ia mengatakannya pada Eleanor malam setelah kejadian penembakan itu terjadi.

THE NURTURE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang