CLAIRE
Pemakaman itu diramaikan oleh banyak orang, namun rasanya seperti tidak ada seorangpun yang berdiri disana kecuali diriku. Satu-satunya yang menjadi pusat perhatianku hanyalah gundukan tanah merah berselimutkan rumput dan bunga-bunga beraroma harum.
Aku tidak pernah membayangkan namanya akan terpajang disana, mungkin suatu saat dia akan menghadapi itu – tapi sekarang? Itu terlalu cepat. Aku tidak pernah memikirkan bahwa aku benar-benar akan menghadiri acara pemakamannya. Rasanya itu seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Suatu saat aku akan terbangun dan bersyukur untuk itu. Tapi tidak. Aku telah terjaga sepanjang malam, menangis hingga kedua mataku membengkak, menolak untuk memakan sesuatu hingga perutku terasa sakit, namun hal itu tidak menghentikan mimpi buruk ini. Dan bagian terburuk yang harus kuterima adalah fakta bahwa ini bukanlah mimpi buruk. Aku berusaha menghadapinya selama berhari-hari, berharap bahwa aku dapat menjadi setegar dirimu, tapi disaat yang bersamaan aku akan jatuh dan menangis lagi.
Kau memintaku untuk tetap tinggal dan tidak menghadiri acara pemakaman ini, tapi aku tidak bisa hanya tinggal di hari pertemuan terakhirku dengan Ashley, hal itu akan membuatku merasa buruk untuk waktu yang lama. Tapi pemakaman itu rasanya tidak pernah berakhir. Aku berharap mereka tidak meletakkan Ashley di dalam peti dan menguburnya. Aku berharap segalanya dapat diulang sehingga aku dapat mencegah apapun yang akan terjadi padanya. Tapi semuanya sudah terlambat dan kurasa, aku tidak memiliki pijakan yang cukup kuat kali ini.
Orang-orang mendengarkan dengan khidmat ketika seorang pendeta membacakan khutbah dan aku diizinkan untuk mengucapkan pesan perpisahan terakhir untuk Ashley. Namun, aku masih tidak bisa percaya bahwa aku akan berdiri di sana dan mengucapkan kalimat perpisahan itu. Kurasa aku akan jatuh jika tidak mengatakannya dengan cepat, namun aku kehilangan kata-kata dan semua itu berakhir dengan tumpahan air mata lainnya.
Tubuhku bergetar ketika sang pendeta mulai memanjatkan doa. Pikiranku sekosong langit malam di kota Alton, dan aku merasa bahwa aku tidak benar-benar berada di sana. Terlepas dari semua itu, aku ingin waktu diputar, aku membutuhkan jawaban untuk pertanyaan tentang bagaimana semua ini dapat terjadi. Aku ingin menyaksikannya sendiri dan bukannya hanya menerima apa yang terjadi. Perasaan bersalahan dan kesedihan yang dalam menyelimutiku sepanjang hari, membuatku terjaga dan menyakitiku secara perlahan. Tapi aku masih bisa merasakan tanganmu menggenggamku erat, tubuhmu menopangku hingga aku tidak terjatuh dan suaramu yang menenangkan ketika kau berbisik di telingaku. Aku tidak yakin siap menghadapinya tanpamu. Aku tidak yakin akan yang akan terjadi padaku sendainya kau tidak ada di sana.
Ketika orang-orang meninggalkan area pemakaman secara bergiliran, aku duduk di atas batu besar dan hanya menyaksikan rumput hijau yang menyelimuti tanah basah itu. Pohon-pohon tinggi berdiri mengelilingi pemakaman, burung mangpie hinggap dari satu dahan ke dahan lainnya, mereka berterbangan di atas kepalaku, kemudian aku merasa bahwa aku baru saja menyaksikan awan bergerak, kabut hitam tebal tersingkap. Langit baru saja bergulung, angin berenbus kencang dan kegelapan menjalar di sekitar pemakaman. Suara-suara percakapan di sekitarku kini hanya menyerupai sebuah dengunan. Bahkan, aku tidak menyadari suara langkah yang bergerak mendekat hingga kau sampai di hadapanku. Kau meletakkan tanganmu di atas bahuku, mengarahkan jari-jarimu untuk mengusap wajahku.
“Kau ingin pulang sekarang?”
Aku menggeleng, butuh waktu beberapa detik bagiku untuk merespons ucapanmu.
“Beri aku waktu sebentar lagi.”
“Jangan mengambil waktu terlalu lama, hujan akan turun.”
“Tolong..”
Kau mengendurkan cengkramanmu, menarik nafas kemudian bergerak meninggalkanku. Saat itu aku memerhatikanmu melangkah mendekati dua orang petugas polisi di ujung sana. Aku mengenali salah satu dari mereka sebagai deputi Ellis, yang lain tampak lebih tinggi dan bertubuh kurus. Kau berbicara dengan mereka, mengangguk kemudian kembali padaku. Disaat yang bersamaan, aku melihat Eleanor berdiri di dekat gerbang, wanita itu mengawasimu. Kau menyadarinya persis ketika melihatku menatap ke tempat dimana wanita itu berada.
“Dia ingin berbicara denganmu,” kataku saat menatap Eleanor.
Alih-alih menanggapinya, kau justru berkata, “sebaiknya kita pergi sekarang.”
“Tidak.”
“Claire, kita tidak akan berdebat di sini.”
Kedua mataku terasa menyengat dan tangisan itu tak terbendung lagi. Aku bisa merasakan jari-jariku terkepal begitu kuat hingga kupikir aku menyakiti tanganku sendiri.
“Kumohon Keith.. beri aku waktu sebentar..”
Alih-alih meninggalkanku, kau memilih untuk berdiri di sana, menunduk sembari menempelkan telapan tanganmu di atas pundakku. Langit sore menggantung rendah pada dahan-dahan pohon. Orang-orang berkerumun di dekat pagar, kebanyakan dari mereka adalah seseorang yang tidak kukenal. Sebagian teman sekolah Ashley juga ikut menghadiri pemakaman. Salah seorang dari mereka yang bernama Martha mengucapkan bela sungkawa padaku saat acara pemakaman akan dimulai. Sementara itu, aku melihat seorang wanita tua berdiri di dekat pohon. Ia mengenakan pakaian hitam yang menutup sampai di bawah lututnya dan sepatu bot unik berwarna coklat tua. Sebuah topi berenda menggantung di kepalanya, menyembunyikan rambut pirang tipis di baliknya. Wanita itu tampak asing, namun aku telah melihatnya berdiri di sana sejak awal pemakaman dimulai, ia tidak berpindah dan aku merasa mata gelapnya terus mengawasiku.
Tampilannya terlalu mencolok untuk sebuah acara pemakaman, tapi aku yakin ia tidak datang untuk mengucapkan belasungkawa. Lagipula, aku ragu jika Ashley mengenal wanita itu semasa hidupnya.
Sang pastur terlihat berkeliaran saat acara pemakaman hampir usai. Ia hadir bersama Eleanor beberapa menit yang lalu dan Keith tidak menginzinkan mereka untuk mendekatiku. Aku hanya melihat mereka berbicara dengan satu sama lain meskipun sang pastur tidak melepas tatapannya dariku hingga acara itu berakhir. Kemudian, kehadiran Suster Suzzane disana sedikit mengejutkanku. Namun wanita itu hanya berdiri diam di sepanjang acara, sesekali kami bertemu tatap, namun hanya sesaat sebelum ia memalingkan wajahnya dan berkeliaran di sepanjang makam seakan hendak mencari sesuatu.
“Kau harus melihatnya,” kata Deputi Ellis saat laki-laki itu bergerak mendekati kami.
Keith berbalik menatapnya, laki-laki itu tidak melepas genggamannya dariku.
“Wanita itu,” Ellis menatap ke arah pohon besar tepat dimana wanita tua itu berdiri. Saat itu aku melihat kekosongan di wajahnya. Ia tampak seolah sedang menunggu sesuatu.
“Siapa dia?” tanya Keith kemudian.
“Penyihir itu.”
“Apa?”
“Namanya Lynn. Aku dan Tracy mendatangiya kemarin. Kami berbicara.”
“Apa yang dia katakan?”
“Tidak ada. Hanya hal-hal bodoh. Kupikir dia suka berhalusinasi.”
“Bagaimana dia bisa sampai disini?”
“Bagaimana menurutmu? Dia suka berkeliaran di sekitar pemakaman ini. Itu sudah menjadi rahasia umum.”
Keith menggelengkan kepalanya kemudian menarikku untuk bangkit berdiri.
“Sudah cukup!” katanya, “kita pulang. Ellis, kita bertemu di kantor besok pagi.”
Deputi Ellis mengangguk. Ia menepuk bahuku sebelum membiarkan kami pergi meninggalkan pemakaman.
Langit berubah gelap ketika mobil kami melintasi jalanan panjang di pinggir hutan. Jalur itu melengkung di satu sisi dan sebuah sungai dengan arus yang deras mengalir tepat di bawahnya. Pohon-pohon tinggi berjejer di sepanjang jalan, mereka seperti tembok-tembok yang membatasi jalanan dengan hutan. Dari balik kaca jendela, aku menyaksikan ketika seekor kijang melompati dahan pohon yang tumbang, matanya menatap ke arahku, ia kemudian berbalik dan pergi ke dalam hutan.Aku termangun. Keheningan itu memekakan suasana di antara kami, namun pikiranku sepenuhnya kosong dan hal terakhir yang ingin kuketahui bahwa aku baru saja menghadiri pemakaman Ashley. Kupikir hari itu akan berlalu cepat, namun aku keliru. Hari ini tidak akan berlalu lebih cepat dari sebelumnya dan kau juga merasakan hal itu. Aku dapat melihat wajahmu: pucat dan kosong. Kau tidak pernah menjadi sediam ini sebelumnya, namun itu tidak penting lagi sekarang, kan? Kau baru saja kehilangan putrimu..
Beritahu saya tanggapan kalian..
KAMU SEDANG MEMBACA
THE NURTURE (COMPLETE)
Misteri / ThrillerKolam itu gelap, airnya menghitam selama bertahun-tahun dan menurut rumor yang beredar, roh-roh mengelilinginya mereka yang membisikkan para biarawati untuk melompat dari atas tebing. Setelah sepuluh tahun meninggalkan kota kelahirannya, Claire men...