6 (F)

94 26 1
                                    

CLAIRE

Ketika aku terbangun, sekujur tubuhku terasa sakit dan kepalaku pening. Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari bahwa aku tidak berada di dalam kamar melainkan di dalam gudang. Seisi ruangan itu gelap dan terasa pengap kecuali karena cahaya dari lampu belakang yang mengintip melalui ventilasi udara. Debu bertebaran dimana-mana, lantai kayunya terasa dingin dan kotor di bawah kakiku, dan nafasku terasa sesak akibat udara pengap di bawah sana. Beberapa barang tidak terpakai bertumpuk secara acak, kebanyakan dari barang-barang itu diletakkan di dalam kardus, sisanya adalah lemari lama yang tak terpakai dan vas antik milik ibuku yang pecah. Hazel meletakkan semua pakaianku di dalam sana. Aku juga menemukan barang-barang lamaku yang menghilang. Tidak terpikir olehku kalau Hazel akan menyembunyikan semuanya di dalam sini. Namun, bukan itu yang benar-benar menghantui seisi kepalaku sekarang melainkan tentang bagaimana aku dapat tertidur di dalam sana.

Samar-samar aku mengingat Ashley dan perdebatan kami di dapur siang ini. Aku menghabiskan waktu sepanjang hari untuk menghubungi Dana dan kupikir aku dapat melakukan sesuatu seperti membersihkan gudang. Ashley sedang berada di kamarnya ketika aku menuruni tangga. Gudang itu terletak di ruang bawah tanah sehingga aku harus melewati pintu belakang untuk sampai di sana. Lampunya tidak lagi berfungsi, jadi aku menggunakan senter, dan di bawah sana begitu gelap. Ventilasinya begitu sempit, udaranya sangat kotor. Tak lama kemudian, aku mendengar suara langkah kaki seseorang melewati tangga. Suara musik dari kamar Ashley terdengar keras hingga ke bawah sana, sehingga aku tidak dapat mendengar suara langkah seseorang mendekat. Tapi aku melihat sebuah siluet hitam melintas cepat di anak tangga. Siluet itu kemudian membesar dan sebelum aku sempat menyadarinya, pintu gudang disentak hingga tertutup rapat. Melalui celah pintu itu, aku melihat seseorang berjalan melewati gudang, kemudian aku menggedor pintu dengan keras.

“Ashley! Buka pintunya!”

Gadis itu berdiri di anak tangga. Alih-alih menurutiku, ia pergi menghilang di atas sana. Tubuhku berkeringat, udaranya terasa semakin sesak dan aku mulai panik. Sementara, pintu gudang itu tetap terkunci, aku berusaha meraih kursi untuk mendobraknya, namun kakiku terselengkat oleh potongan kayu dan aku merasakan kepalaku mendarat di atas lantai dengan keras hingga aku jatuh pingsan. Meskipun begitu, bayangan itu masih teringat jelas.

Dengan rasa berdenyut-denyut di kepalaku, aku berusaha bangkit sembari meraih senter. Kini, cahaya dari lampu senter itu berpendar ke seluruh ruangan. Aku menyeret langkahku, kemudian bergerak menuju pintu dan menggedornya lagi.

“Ashley!! Buka pintunya!”

Tanganku meraih kenop pintu dan memutarnya hingga pintu terbuka. Sekujur tubuhku menegang, aku menelan liur dengan susah payah sebelum memutuskan untuk keluar dari dalam sana. Mungkin aku ketakutan, tapi aku tidak mabuk untuk menyadari bahwa pintu itu benar-benar terkunci sebelumnya.

Kini, aku menyeret langkahku menaiki tangga. Lorong di atas tampak gelap dan tidak ada suara berisik musik dari kamar Ashley. Semuanya benar-benar hening. Tirai pucat di belakang jendela bergerak-gerak tertiup angin, kaca jendelanya masih terbuka sejak siang tadi. Aku bergerak untuk menutupnya dengan cepat kemudian menyalakan sakelar lampu di lorong. Cahaya keemasan segera membanjiri lorong itu. Ketika aku mengintip keluar melalui jendela, halaman depannya benar-benar kosong. Mobilku masih terparkir di depan sana dan sejauh ini tidak ada tanda-tanda keberadaan orang lain di dalam.

“Ashley?”

Aku memaksakan diri bergerak menyusuri lorong menuju ruang tengah. Lampu di ruang tengah dan televisi di sana dibiarkan menyala. Cahayanya jatuh pada sofa panjang di depannya. Lubang perapian itu kosong, kayu-kayu bakar yang kuletakkan di dalamnya menghilang. Hal yang sama terjadi pada buku-buku yang kutumpuk di atas rak. Beberapa barang seperti bingkai foto milik ibuku dan Hazel lenyap dan sofa-sofa di ruang tengah itu dikotori oleh tumpahan bir dan sampah makanan ringan.

“Ashley!”

Aku menatap ke arah pintu kamar Ashley, merasakan kemarahanku meledak ketika remaja itu tidak juga menanggapinya. Namun, ketika aku berjalan mendekati kamarnya, pintu itu tidak terkunci. Pintu mengayun terbuka dan ruangan di dalam sana benar-benar kosong. Ranjangnya menempel di sudut dinding, seprai dan barang-barang diletakkan secara sembarang dan ada lebih banyak bekas botol alkohol di atas mejanya.

“Ashley?!”

Aku bergerak menuju dapur, berharap akan menemui remaja itu di sana. Namun, ruangan itu sama kosongnya dan tidak kalah berantakannya seperti ruangan lain. Peralatan makan berserakan di atas lantai, beberapa di antaranya pecah dan menyisakan keramik yang bertebaran di atas sana. Telur-telur yang sebelumnya tersimpan di dalam kulkas kini bertebaran di atas lantai dan meja makan, dan sisa pasta pagi tadi mengotori kursi.

“Ya Tuhan! Ashley!!”

Aku berlari cepat menuju kamarku untuk menemukan ponsel yang kutinggal di sana. Aku ingat meninggalkan pintu kamar itu dalam keadaan tertutup rapat, kini pintunya terbuka lebar dan ketika aku menyalakan lampu di dalam sana, pemandangan di hadapanku membuatku mual. Seseorang meletakkan bangkai seekor kucing di atas kasurku. Noda darahnya membentuk lingkaran gelap yang membesar di atas seprai putih itu. Tirai jendela di kamarku juga rusak, beberapa bagiannya tampak seperti dikoyak hingga berlubang. Pecahan keramik bertebaran di atas lantai dan seseorang menuliskan kata ‘pergi’ menggunakan tinta merah di atas kaca.

Aku berlari dan meraih ponselku di atas meja kemudian menekan nomor Keith. Dengan gelisah aku bergerak keluar hingga panggilan itu tersambung pada nada dering kelima.

“Ini Keith.”

“Keith! Ini Claire, tolong bantu aku!”

“Claire tenanglah.. katakan apa yang terjadi?”

“Aku tidak tahu, tapi kau harus datang dan melihatnya sendiri! Kumohon, aku membutuhkanmu sekarang. Aku sangat takut.”

“Oke, jangan pergi kemanapun, oke? Pastikan ponselmu tetap menyala, aku akan sampai dalam sepuluh menit. Claire? Kau dengar aku?”

“Ya, cepatlah!”

“Jangan matikan teleponnya! Teruslah berbicara padaku! Aku sedang dalam perjalanan ke sana.”

“Oke.. oke..”

Tubuhku bergetar dan aku menekankan ponselku ke telinga begitu kencang saat berdiri di beranda. Langit gelap di luar sana membuatku takut. Setiap sudut jalan terlihat begitu hening dan tidak ada satupun kendaraan yang berlalu lalang di sekitar sana. Kemudian, aku melihat dua titik cahaya dari lampu sen di kejauhan bergerak mendekat. Aku dapat mengendurkan sedikit ketakutanku begitu mobilmu berbelok masuk ke halaman depan.


Beritahu saya tanggapan kalian 😁

THE NURTURE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang