SUSTER SUZZANE
Sang Suster memandangi kolam gelap dan bebatuan besar di bawah sana. Saat itu sudah tengah malam ketika langit gelap menyusup di balik jendela kamarnya dan membuatnya terjaga. Suster Suzzane bergerak keluar menyusuri koridor. Kegelapan di dalam sana menutupi jalan. Ia harus merapat ke dinding dan melangkah dengan hati-hati sehingga tidak membangunkan para biarawati yang sudah tertidur. Pintu-pintu di sayap kanan telah tertutup rapat, aula besar juga tampak kosong dan tidak ada suara musik yang terdengar dari kamar sang pastur.
Suster Suzzane berjalan lebih jauh, ia melewati sekat-sekat dan lorong-lorong panjang, kemudian menuruni tangga hingga sampai di dapur. Hanya pintu di dapur yang dibiarkan tidak terkunci. Para biarawati yang tewas itu keluar melalui pintu yang sama. Mereka akan berjalan menyusuri pekarangan dan melewati tembok sebelum sampai di tebing.
Udara dingin di luar terasa menusuk kulitnya. Suster Suzzane menutup pintu di belakangnya dengan perlahan sebelum melangkah menyusuri jalur setapak menuju tebing itu. Suara melengking di luar sana terdengar seperti dengungan yang samar. Ada lebih dari satu suara yang menggema seperti ribuan orang yang berteriak di lapangan sepak bola.
Angin berembus kencang membelah langit gelap, pohon-pohon yang terjaga itu seakan mengawasinya dan jendela-jendela yang tertutup rapat di belakangnya seperti mata-mata yang sedang terpejam. Biara itu sepenuhnya tertidur. Tembok kokohnya seperti wajah yang bersedih, dan koridornya yang kosong dan gelap tampak seperti mulut yang menganga.
Cahaya bulan itu terlihat seperti hendak menuntunnya. Cahayanya merambat ke sepanjang tebing dan memperlihatkan bebatuan besar yang berundak di sana. Bebatuan itu kian menua, permukaannya kian mengikis dan ia telah menghabiskan belasan tahun untuk menyaksikan bagaimana bebatuan itu menjadi gerbang yang mengantar para biarawati ke dalam persemayaman terakhir mereka.
Aroma di sekitar sana tercium sangat khas, itu seperti wangi rumput hijau dan tanah basah. Orang-orang mengatakan kalau wangi itu akan tercium saat roh-roh mulai bangun dari tidurnya. Tapi baunya terlalu tajam, terlalu mudah di kenali.
Dengan kaki telanjang, Suster Suzzane menyusuri undakan batu hingga sampai di atas tebing. Di satu tangannya ia menggenggam erat sebuah kalung salib. Bibirnya bergerak-gerak mengucapkan kutipan doa dalam sebuah bisikan. Angin yang bergerak lembut membelai wajahnya, menuntunnya hingga sampai di puncak tebing dan kolam yang mengaga di bawah sana sangat gelap, begitu hitam, bahkan darah para biarawati yang tewas di sana tidak cukup untuk mengubah warnanya.
Sang suster kemudian menatap ke arah pohon besar di bawah sana. Pohonnya rindang dan ia tumbuh kokoh selama bertahun-tahun. Rumor mengatakan bahwa pohon itu berusia sama tuanya seperti kolam gelap di bawah sana. Ia adalah saksi mata atas segala peristiwa yang terjadi di dekat kolam.
Saksi mata..
Suster Suzzane memikirkan kata-kata itu sejak belasan tahun persis beberapa hari selang kematian Suster Irine. Ada sesuatu yang mengganggunya tentang kematian wanita itu. Suster Irine pernah mengatakan bahwa ia berencana untuk menggali kolam itu dan melihat lumpur hitamnya, namun ia tidak pernah berencana untuk melompat dari sana. Pernyataan bahwa sang suster memutuskan untuk melompat adalah hal yang terdengar mustahil – kecuali, tentu saja rumor yang membenarkan bahwa para roh itu menariknya untuk melompat ke dalam sana.
Di bawah langit gelap dan embusan kencang angin, Suster Suzzane menunduk menatap jari-jari kakinya. Ia menapaki permukaan batu yang mengikis di atas tebing itu, merasakan teksturnya yang licin. Ada begitu banyak hal yang memungkinkan seseorang dapat terpeleset jatuh dari atas sana. Permukaan batu itu sedikit melengkung ke bawah, seseorang bisa terjun begitu saja ketika terlepeset. Jadi, dugaan bahwa Suster Irine terpeleset di atas sana benar-benar terdengar masuk akal dan Suster Marie mungkin menjadi satu-satunya orang yang melompat dengan sebuah alasan. Suster Suzzane sering melihatnya memandangi tebing itu. Ada sesuatu yang disembunyikan Suster Marie, namun tidak ada seseorang yang benar-benar tahu apa alasannya melompat dari atas tebing.
Suster Suzzane tertegun sembari menatap ke bawah. Angin kencang yang bertiup menampar wajahnya dan ia merasakan bulu romanya meremang ketika menatap cahaya yang bersembunyi di bawah pohon. Kini, ia berbalik dan melangkahkan kakinya menuruni tebing. Undakan demi undakan hingga ia sampai di bawah. Langkah kakinya membawanya berjalan mendekati pohon hingga titik kemerahan dari cahaya itu membesar.
Beritahu saya tanggapan kalian..
KAMU SEDANG MEMBACA
THE NURTURE (COMPLETE)
Gizem / GerilimKolam itu gelap, airnya menghitam selama bertahun-tahun dan menurut rumor yang beredar, roh-roh mengelilinginya mereka yang membisikkan para biarawati untuk melompat dari atas tebing. Setelah sepuluh tahun meninggalkan kota kelahirannya, Claire men...