6 (B)

99 25 1
                                        

ELEANOR

Lorong itu gelap, lilin-lilin telah dimatikan dan Eleanor baru saja mendengar Suster Suzzane menutup pintu kamarnya. Seisi bangunan telah tertidur, namun ada sesuatu yang mengganggunya. Dari balik jendela kamarnya, ia menatap lampu di gereja berkedip dan sebuah siluet hitam baru saja melintas di dalam sana. Selama beberapa menit, Eleanor hanya menunggu di sana, menyaksikan lampu itu tetap menyala.

Jalanan di depan kosong, hamparan rumputnya bergerak lembut ketika tertiup angin dan sejauh ia memandang tidak ada seorangpun yang mendekati gerbang. Gerbang setinggi tiga meter itu telah tertutup rapat, temboknya seakan menjaga seisi biara seperti prajurit yang berdiri kokoh.

Ia telah menghabiskan satu jam berikutnya untuk membaca sebelum mengintip kembali dari jendela. Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar. Eleanor meraih jubah yang disampirkannya di tiang besi kemudian menyalakan sebuah lilin untuk menuntunnya. Ia berhati-hati ketika memutar kenop pintu, sengaja tidak menggunakan alas kaki ketika berjalan menyusuri koridor agar tidak membangunkan siapapun. Dalam kegelapan, lorong itu terasa panjang. Jendela-jendelanya tertutup rapat dan cahaya temaram rembulan berusaha menerobos masuk dan jatuh di atas lantai koridor. Langkahnya telah membawa ia hingga sampai di pintu depan. Udara dingin segera menusuk kulitnya sehingga Eleanor mengetatkan jubah dan berjalan cepat menuju gereja. Ia mengabaikan rasa sakit ketika bebatuan kecil di jalanan menusuk kaki telanjangnya dan memutuskan untuk terus melangkah. Sesampainya di depan pintu gereja, Eleanor mengintip melalui jendela, menyaksikan bagaimana siluet hitam itu membesar dan membentuk sosok yang lebih nyata.

Sang pastur tengah berdiri di depan sana, sebuah al-kitab dan salib berada dalam genggamannya. Kepalanya menunduk dan bahunya berguncang. Eleanor membuka pintu dengan perlahan, berhati-hati ketika melangkah mendekati sang pastur kemudian meletakkan lilinnya di atas lantai. Laki-laki itu jatuh berlutut, kepalanya terus menunduk dan kedua matanya telah basah.

“Dia tidak berdosa,” bisiknya.

Eleanor melangkah mendekatinya, ia menunduk persis di samping pria itu kemudian meraih kedua tangannya yang terkepal.

“Ini seharusnya tidak terjadi padanya.”

Laki-laki itu terus menangis, kedua bahunya berguncang hebat. Cahaya keemasan dari lilin kini jatuh membanjiri lantai. Eleanor tidak dapat melihat wajah sang pastur dengan jelas dengan cahaya itu, namun ia dapat merasakan atmosfer di dalam sana terasa panas dan mencekik. Mimbar itu kosong, bangku-bangku panjang yang berderet di belakangnya seakan menatap mereka. Jendela-jendela masih tertutup rapat dan angin yang berembus berusaha menyusup masuk melalui celah pintu yang sedikit terbuka.

Jubahnya terasa mengetat, tangannya bergetar ketika ia mengangkat wajah sang pastur. Tiba-tiba air matanya mengalir. Eleanor merasakan kesedihan besar saat menatapnya, perasaannya terhadap pria ini tidak pernah berubah. Ia kemudian tersenyum ketika Sang Pastur meletakkan jari-jarinya di atas wajah Eleanor.

“Kalian begitu mirip,” bisiknya sekali lagi.

Laki-laki itu mendekat. Eleanor memejamkan mata ketika sang pastur mencium dahinya. Nafasnya terasa hangat dan ia merasakan kenyamanan besar saat berada di dekatnya.

“Mengapa kau tumbuh besar sangat cepat?”

“Aku masih bersamamu,” bisik Eleanor. “Aku tidak akan pergi kemanapun.”

Kemudian sang pastur menciumnya di bibir. Eleanor memejamkan mata saat merasakannya. Laki-laki itu kemudian bergerak mundur. Kedua matanya menatap Eleanor tajam. Ia bangkit berdiri, namun Eleanor mencegahnya. Kedua tangannya menarik laki-laki itu dan ia memeluknya. Eleanor membiarkan wajahnya bersandar di atas bahu pria itu, selama sejenak berharap ia tidak akan kehilangan kenyamanan itu.

..

Kedua matanya terbuka dan pandangannya yang kabur mulai terlihat lebih jelas. Ruangan itu dibanjiri oleh cahaya keemasan dari lilin yang hampir padam di atas meja. Api di perapian telah padam dan sofa tua di ujung sana menatapnya kosong. Butuh beberapa detik sebelum Eleanor menyadari sang pastur tidak berada di sana. Terakhir ia melihatnya, pria itu duduk dan menjaganya dari atas sofa, kini kamarnya benar-benar kosong. Selimut tebal yang menyelimutinya tersingkap dan jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari.
Eleanor menyeret tubuhnya untuk turun dari atas kasur. Ia berjalan di atas lantai dingin mendekati jendela. Tangannya menyingkap tirai pucat yang menutupi jendela itu dan ia menatap ke bawah sana, persis ke arah tembok pembatas dimana cahaya lilin itu bergerak. Sang pastur sedang berjalan menyusuri pekarangan. Kedua matanya tertuju ke arah tembok tinggi yang mengelilingi biara dan ia hanya berdiri di sana untuk waktu yang lama.

Eleanor menunduk menatap jari-jari kakinya. Kegelisahan menyelimutinya. Kematian ibunya bukanlah yang pertama. Roh-roh itu mungkin masih bergentayangan di sana. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya? Tidak ada yang tahu siapa yang akan menjadi korban berikutnya.

Kesadaran itu menyentaknya, membawa malam yang panjang untuk Eleanor. Ditengah udara dingin yang menjalar di setiap sudut ruangan, ia tetap terjaga hingga pagi mengintip dari balik jendela.


Beritahu saya tanggapan kalian 

THE NURTURE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang