9 (L)

93 29 3
                                    

CLAIRE

Cahaya kecil itu seperti sebuah kilat yang menyala-nyala di kejauhan, cahayanya kemudian membesar sehingga tidak lagi menyisakan celah bagi kegelapan untuk merambat masuk ke dalamnya. Kini gambaran langit-langit yang buram tampak semakin jelas. Langit-langit itu membentuk sebuah permukaan datar yang memanjang, dan berakhir di pertemuan sudut antara kedua sisinya. Tembok-tembok batu itu dihiasi oleh lukisan-lukisan besar, dan tepat di sudutnya sebuah jendela terbuka. Sinar matahari menyusup masuk dari sana, memberi cahaya temaram di dalam ruangan gelap itu. Terdapat sebuah kasur yang besar tepat dimana aku berada, kemudian nakas-nakas kecil dan sebuah rak juga sofa di ujung sana. Aku menatap sofa itu, berpikir bahwa aku baru saja menyaksikan ibuku duduk di sana dengan pakaian hitam dan sebuah salib yang menggantung di lehernya. Wajahnya tampak terang, kedua matanya menyala. Ia bangkit berdiri, tersenyum ke arahku.

Baru kusadari kalau aku berada di kamar lamaku. Tempat dimana aku menghabiskan malam-malam panjang yang menakutkan. Aku suka mendengar suara deritan kayu di dekat pintu, mendengar derap langkah yang ringan di atas lantai kayu, mendengar suara tangisan, teriakan, kemudian lebih banyak tangisan. Melalui jendela kamarku yang kecil, aku berdiri di belakangnya dan menatap keluar, menyaksikan kabut tebal memenuhi halaman rumah, menutupi cahaya sinar matahari dan menyembunyikan pagi. Hari ini aku menyaksikan rumah pohon di halaman depan, menatap kegelapan di balik jendelanya, dan melihat seekor burung hinggap di atapnya. Aku suka bersembunyi di sana. Aku suka menenggelamkan diriku dalam kegelapan yang memekakan hingga kupikir aku terlalu pengecut untuk bergerak keluar. Aku suka menyanyikan lagu-lagu di dalam sana, memainkan musik, atau sekadar duduk dan mendengar suara jeritan ibuku di dalam rumah.

Hazel selalu memilih untuk pergi, aku memilih untuk bersembunyi. Kami tidak pernah sepakat bahkan untuk hal sekecil apapun, dan tidak satupun dari kami yang dapat menolong ibu kami. Bahkan ketika ibu kami memutuskan untuk keluar dari rumah dan meninggalkan kami, kami tidak dapat mencegahnya.

Hari-hari berlalu cepat, namun kesepian itu kian memekakan. Suatu pagi aku duduk di anak tangga dan menyaksikan embun jatuh di atas rumput. Malam telah bergulung, pagi yang dingin menyelimuti semak-semak di belakang pohon tinggi. Aku hanya diam disana, menekuk lututku, menatap ke arah rumah pohon yang tampak kosong. Tangganya hancur, serpihan kayu itu kini berserakan di atas tanah yang basah dan jejak kaki kecil memajang menuju tembok. Aku tahu jejak kaki itu milik Hazel, dan ia telah menghancurkan rumah kayu itu. Aku tidak akan bisa memanjat pohon itu lagi dan bersembunyi di dalam rumah kecil itu.

Ayunan bergerak lambat ketika tertiup angin. Besinya yang berkarat menimbulkan suara berderit yang halus. Pagi itu hening hingga kupikir aku dapat mendengar suara perutku yang berbunyi. Aku kelaparan, sementara itu ibuku duduk di kursi goyangnya, matanya yang kosong menatap keluar jendela dan wajahnya tampak pucat. Aku berusaha memanggilnya, mengatakan bahwa aku ingin makanan, tapi dia bahkan tidak bergerak dari kursinya sedikitpun. Jadi disanalah aku, duduk meringkuk di anak tangga sembari menekuk lutut dan menatap ke arah hutan. Hazel pergi sejak semalam, ia tidak kembali bahkan ketika siang mulai bergulung dan langit sore yang sedikit gelap menyelimuti pagar tua di depan rumahku. Ibuku masih duduk di sana, jari-jarinya yang kurus mencengkram kursi dengan kaku, kedua matanya memerah karena menangis semalaman, pakaiannya lusuh.

Aku menunggu dan ketika aku berpikir bahwa tidak ada yang dapat kulakukan di sana, aku bergerak meninggalkan rumahku, berjalan sejauh satu kilometer dan menyaksikan pasangan Willer tengah bertengkar di beranda rumah mereka. John Willer menatapku, matanya memerah dan beberapa detik kemudian, aku mendengar bunyi klakson yang keras. Sebuah truk melintas di kejauhan, cahaya dari lampu sennya menyorot wajahku, membesar hingga bumper truk itu menghantam tubuhku.

..

Aku membuka mata. Nafasku tersengal dan tubuhku berkeringat. Kegelapan di dalam ruangan itu terasa pekat. Tatapanku menyapu ke sekitar, kemudian aku mendengar suara langkah kaki seseorang yang bergerak mendekat hingga wajahnya muncul di dalam cahaya temaram. Tangannya menggenggamku, membuatku tersentak dan beringsut menjauh. Namun, genggaman itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyakitiku, justru menenangkanku.

THE NURTURE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang