ASHLEY
Aku telah meninggalkan belasan pesan, namun Pete tidak membalas pesan itu. Pagi ini aku juga sudah berusaha menghubunginya dan seperti dugaanku, laki-laki itu tidak mau menjawab panggilan itu. Berada di dalam kamar dan tidak melakukan apapun membuatku sesak. Kupikir aku bisa melakukan sesuatu untuk memperbaiki hubungan kami, namun laki-laki itu bahkan tidak mau berbicara denganku, jadi aku menghabiskan waktu untuk memindahkan barang-barang lama di kamarku ke gudang.
Claire pergi sejak pagi tadi, dia berusaha mengetuk pintu kamarku dan aku mengabaikannya. Tak lama kemudian, aku mendengar suara gemuruh mesin mobilnya bergerak menjauh dan ini adalah hari sabtu dimana Laurie pergi ke gereja dan membantu mempersiapkan acara amal sepanjang hari. Ia biasanya akan pulang setelah langit gelap dan aku benar-benar terbiasa berada sendirian di dalam rumah.
Setelah menghabiskan tiga jam berada di gudang, aku pergi ke dapur untuk menemukan makanan. Yang membuatku kecewa, Claire tidak meninggalkan makanan di atas meja, jadi aku memesan pizza dan duduk untuk menikmati kumpulan film-film lama yang kutemukan di gudang. Tak lama kemudian, ponselku berdering. Pete berusaha menghubungiku dan aku segera menjawab panggilannya pada deringan berikutnya.
“Hai, Pete! Bagaimana kau..”
“Untuk apa kau menghubungiku lagi?!”
Suaranya meninggi dan itu bukan sesuatu yang biasa dia lakukan.
“Hei, aku berusaha minta maaf, oke?”
“Jadi kau akhirnya menyadari kalau itu bukanlah kesalahanku?”
“Aku tidak tahu, aku hanya kesal. Kau tahu? Itu konyol!”
“Tidak. Kau tahu apa? Ayahku marah padaku dan itu tidak berarti baik. Kau tahu kan, berita seperti itu bisa tersebar cepat di kantorku dan dia tidak akan senang mendengarnya.”
“Hei, mengapa kau selalu menyalahkanku atas sikap ayahmu?”
“Kau tahu apa? Mungkin sebaiknya kita lupakan saja.”
“Tunggu! Apa?”
“Lupakan saja, Ashley! Hubungan ini tidak akan berhasil. Aku harus fokus pada pekerjaanku dan jangan coba hubungi aku lagi.”
“Kau berengsek! Apa yang kau katakan?”
“Selamat tinggal, Ashley.”
Aku hendak berteriak, melakukan sesuatu seperti memakinya atau mungkin meludahi wajahnya. Namun, laki-laki itu telah memutus sambungan telepon dan membiarkan makianku tertahan di ujung lidah.
“Pete!! Jangan matikan teleponnya! Sialan!”
***
Aku tergoda untuk menghubungi Claire, namun apa yang akan kukatakan padanya? Aku baru saja putus dengan kekasih berengsekku? Apa itu akan membuat keadaannya menjadi semakin baik? Mungkin tidak namun itu akan membuatku lebih tenang setelah berbicara dengan seseorang. Lagipula kemana wanita itu pergi? Kenapa dia selalu menghilang saat dibutuhkan?
Ketika hari mulai gelap, aku sedang berdiri di kamar lama mom dan menatap keluar jendela. Kamar itu dibiarkan kosong sejak lama, lantainya terasa dingin dan debu bertebaran di berbagai sudut. Namun, terlepas dari semua itu, ruangan itu benar-benar nyaman. Aku sering datang ke sana ketika aku masih anak-anak. Terkadang aku akan berbaring di atas ranjang lama milik mom dan membayangkannya berada di tempat yang sama. Mom memang gila, namun aku tidak pernah merasa begitu kesepian sejak kepergiannya. Saat itu aku masih sangat kecil untuk memahami situasi yang terjadi padanya. Dia sangat tertarik dengan alkohol dan dia suka berteriak. Setiap malam aku mendengarnya berteriak pada seseorang di luar, kupikir itu Sean atau bisa saja laki-laki lain yang datang dan pergi dalam hidupnya. Tapi aku tidak pernah membayangkannya akan terlibat dalam sebuah masalah yang membuatnya memutuskan untuk menyerah. Hingga sekarang, sulit untuk kupercaya dia benar-benar meninggalkanku sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE NURTURE (COMPLETE)
Mystery / ThrillerKolam itu gelap, airnya menghitam selama bertahun-tahun dan menurut rumor yang beredar, roh-roh mengelilinginya mereka yang membisikkan para biarawati untuk melompat dari atas tebing. Setelah sepuluh tahun meninggalkan kota kelahirannya, Claire men...