ELEANOR
Sejak kecil, Eleanor suka memainkan piano dan menciptakan musik untuk dinikmatinya sendiri. Terkadang, ia ditemani oleh tiga orang biarawati yang cukup akrab dengannya untuk memainkan musik dan menghabiskan setengah hari untuk bernyanyi di aula. Suara-suara di biara itu seakan tidak pernah padam. Setidaknya selama beberapa tahun musik yang dimainkan Eleanor selalu menggema ketika pagi dan petang. Suatu malam ia pernah menyusup keluar dari kamarnya hanya untuk menemui pianonya di aula. Benda itu masih tersimpan di sana hingga saat ini. Namun, setelah lama nyaris tak tersentuh, permukaannya kini berdebu dan rangka kayunya semakin menua.
Baginya musik bukan hanya sekadar hiburan, melainkan tempat untuk mengalihkan perhatiannya dari kekacauan yang terjadi. Terkadang, musik itu benar-benar melukiskan perasaannya dan sang pastur telah memastikan kecintaan Eleanor maupun selera musiknya tidak pernah padam. Namun, sesuatu yang tidak bisa dihindari adalah fakta bahwa ia telah menjalani kehidupan yang mengerikan. Bagunan itu semakin tua dan mengurungnya di dalam sana. Secara perlahan membuat Eleanor semakin jauh dengan kegemarannya. Eleanor nyaris lupa bagaimana rasanya duduk di depan piano dan melepas segalanya. Ia lupa tentang suara-suara yang menggema di setiap sudut dinding biara saat menyadari betapa mengerikannya menjalani kehidupan seperti itu.
Di tahun awal pernikahannya dengan Keith, Eleanor berpikir bahwa mungkin itu adalah kesempatannya untuk mengubah keadaan dan melupakan fakta tentang seberapa mengerikannya kehidupan yang ia jalani di dalam biara. Namun, masa lalunya akan selalu menariknya kembali ke dalam lubang yang sama hingga pada akhirnya ia menyadari bahwa pernikahan itu hanyalah tameng untuk menutupi apa yang berusaha ia hindari sejauh ini.
Sebuah pernikahan bukanlah kompetisi untuk memenangkan sesuatu, pernikahan adalah janji suci yang mengikat dua jiwa.
Ia pernah membaca kutipan itu dalam sebuah buku di perpustakaannya: kutipan yang tidak akan dipikirkan siapapun untuk sekadar menenangkannya. Tapi bukan itu intinya, Eleanor tahu bahwa hubungan itu tidak sehat sejak awal. Ia menginginkan suatu hal, Keith memiliki keinginannya sendiri, mereka tidak pernah sejalan dalam hal apapun. Perceraian adalah keputusan terbaik, kemudian ia akan menyerahkan dirinya. Itu adalah pilihan terakhir yang mungkin dapat dipikirkan Eleanor dulu, namun keadaannya benar-benar berbeda sejak beberapa tahun terakhir, dan keberadaan sang pastur di sampingnya telah membuktikan siapa Eleanor sebenarnya.
Ia selayaknya pantulan yang dilihatnya di cermin, namun sekali lagi, bukan itu intinya. Seseorang yang menatapnya di cermin bisa jadi bukan dirinya – siapa yang tahu? Biara itu telah menyimpan sejumlah misteri yang tak terpecahkan, begitu kata orang-orang. Terkadang Eleanor benar-benar berharap dapat memercayai rumor itu, namun ia mendengar suara lain yang meyakinkannya bahwa jauh di ujung sana, tepat di seberang bukit yang melandai menuju sungai, terdapat sebuah pusaka yang terkubur dalam dan menjadi kunci kebisuan segalanya. Jendela-jendela yang tertutup rapat, pintu-pintu besar yang tidak boleh dibiarkan terbuka lama tanpa pengawasan, dinding-dinding bata yang menguncinya, juga seprai beludru yang membuatnya tetap nyaman sejauh ini. Seseorang tidak bisa membayar sebuah kenyamanan hanya dengan anggukan persetujuan, disana harus ada sumpah yang mengikat – sebuah perjanjian di hadapan Tuhan.
Namun, Eleanor memikirkan hal itu sepanjang hari. Sanggupkah ia melakukannya? Sanggupkah ia menyerahkan dirinya dan menghabiskan sisa hidupnya di dalam biara ini? Benarkah angan-angan yang sempat terbesit dalam pikirannya dulu tidak lagi terdengar begitu menarik? Semua pertanyaan itu selalu menariknya kembali pada fakta bahwa Eleanor tidak memiliki apapun selain biara ini – tempat perlindungannya yang nyaman. Seseorang sepakat dengannya: biara itu seperti sebuah tempat yang akan menarikmu kembali dan kembali padanya seakan-akan ada sesuatu yang hidup di sana dan mereka berusaha menyakinkanmu bahwa kau tidak memiliki kehidupan yang cukup berarti di luar temboknya.
Sembari memikirkan hal itu, Eleanor menatap pada pantulan cahaya api yang merayap di dinding. Panasnya menggelitik tubuh Eleanor. Di belakang cahaya api, tepat di atas sofa beralaskan kain linen berwarna merah tua, Eleanor duduk menghadap ke arah perapian. Ia duduk untuk sekadar membaca syair-syair lama juga kutipan-kutipan doa yang dipajang disetiap sudut dinding biara. Suara lembut itu sanggup bertahan di telinganya beberapa detik, kemudian ia akan menghilang bersamaan dengan lidah api yang menjilat kayu bakar hingga habis.
Eleanor memandangi deretan panjang buku di atas rak, kemudian beberapa peralatan antik yang diletakkannya di atas perapian. Semua telah berada di sana selama bertahun-tahun. Tirai pucatnya, ranjangnya yang dilapisi beledu putih, lilin yang diletakkan di atas nakas dan sofa yang didudukinya. Segala hal tentang biara itu tidak pernah berubah kecuali karena semuanya tampak menua.
Samar-samar ia mendengar suara langkah kaki yang lembut di koridor, kemudian suara pintu di geser terbuka. Sang pastur telah berdiri di sana, kedua tangannya saling bertaut dan matanya memandangi Eleanor dengan sendu. Hal lain yang tidak bisa terhindarkan adalah fakta bahwa laki-laki itu semakin menua. Suatu saat Eleanor harus menyaksikannya meninggalkan biara – atau seperti yang dikatakannya, menjadi bagian dari biara itu. Hanya saja ia tidak bisa membayangkan kehidupan setelah itu. Baginya tidak akan ada kehidupan tanpa laki-laki itu. Mungkin Eleanor tetap hidup untuk waktu yang lama, namun ia harus merangkak keluar dari kubangannya sendiri. Tidak ada seseorang yang menemaninya kecuali bangunan yang semakin menua itu. Suatu saat ia akan berdiri di aula, menatap puing-puing yang melindunginya selama ini. Menjaga benteng itu tetap sekuat dan sekokoh kelihatnya. Melindunginya dari rumor yang beredar. Kabut itu akan tetap menyembunyikan dindingnya, dan seseorang yang terseret masuk ke dalam sana tidak akan pernah bisa kembali, begitu katanya. Tapi benarkah?
Eleanor bangkit berdiri dan mengitari ruangan. Malam yang tersingkap di balik jendela selalu menjadi penanda waktu tidur untuknya. Terkadang ketika kabut tebal menyelimuti bangunan itu dengan sempurna, Eleanor tidak dapat melihat langit gelap selain awan yang menggantung rendah di atas pohon-pohon tinggi. Ia sering melihat seseorang berkeliaran di kaki bukit, atau kunjungan orang-orang yang penasaran di dekat kolam penyucian. Ia telah menyaksikan semuanya dari balik kaca jendela karena disanalah tempatnya – disana singgasananya.
Kaki telanjangnya berjalan menyusuri lantai kayu hingga sampai di dekat ranjang. Tubuhnya menukik jatuh di atas kasur dan Eleanor menekuk lututnya. Ia memandangi sang pastur berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang. Jari-jarinya membelai rambut Eleanor dengan lembut, ekspresinya melunak.
“Kisah apa yang ingin kau dengar?”
“Ceritakan padaku tentang penebusan dosa!”
Keheningan merayap, cahaya api di perapian mulai padam dan hawa dingin menjalar ke sekujur tubuhnya. Namun seperti itulah malam-malam yang dihabiskannya di dalam biara. Nyaris tidak ada suara di atas pukul sembilan. Pekarangannya kosong, cahaya lilin di sepanjang koridor dibiarkan padam dan pintu-pintunya tertutup. Biara itu tertidur tenang seperti bayi. Pohon-pohon yang mengelilinginya tetap terjaga, embusan kencang angin akan menembus tembok dan melewati gerbang kemudian menumbangkan daun-daun kering di atas rumput hijau. Orang-orang memercayai bahwa satu-satunya yang terjaga di sana hanyalah roh para biarawati yang berkeliaran di sekitar gerbang. Mereka mengawasi siapapun yang masuk melewati gerbang itu dan memastikan mereka tidak akan menemukan jalan untuk kembali.
Beritahu saya tanggapan kalian 🙏

KAMU SEDANG MEMBACA
THE NURTURE (COMPLETE)
Misterio / SuspensoKolam itu gelap, airnya menghitam selama bertahun-tahun dan menurut rumor yang beredar, roh-roh mengelilinginya mereka yang membisikkan para biarawati untuk melompat dari atas tebing. Setelah sepuluh tahun meninggalkan kota kelahirannya, Claire men...