1 (D)

273 49 5
                                        

DORIS

(Alton, Illinois – St. John, Rumah sakit jiwa)

Doris memandangi sungai yang memanjang di belakang tembok setinggi dua meter itu. Pohon-pohon tinggi mengelilinginya dan Lisa sedang berdiri di atas hamparan rumput hijau, gadis itu melompat-lompat, matanya berkaca-kaca. Doris nyaris menumpahkan air matanya ketika melihat bagaimana Lisa tersenyum dan memperlihatkan sepasang giginya yang tanggal. Roknya mengatung rendak di atas lututnya dan gadis itu melambai-lambai ke arah Doris.

Lisa tampak sama pagi ini. Doris sering melihat gadis itu berkeliaran dari satu tempat ke tempat lainnya. Suatu hari ia melihat Lisa berdiri di tepi sungai, kemudian ia melihat Lisa duduk di kursi rodanya, dan Lisa yang tertidur di atas ranjangnya, kali ini Lisa yang melompat-lompat di atas rumput. Gadis itu bisa berada dimana saja, kapan saja. Sesekali Lisa hadir dalam mimpinya bahkan Doris merasa ia bisa mendengar suara Lisa berbisik di telinganya setiap kali ia hendak pergi tidur.

Meskipun begitu, Doris tidak pernah merasa terganggu. Ia menyukai Lisa. Mereka berteman belasan tahun yang lalu sejak kali pertama Doris ditempatkan di rumah sakit itu. Terkadang ketika Doris menjadi sangat kesepian, ia akan berbicara dengan Lisa. Mereka sering bermain permainan tebak kata dan yang paling Doris suka darinya dalah gaun sutra berwarna biru cerah juga bandana berbentuk kupu-kupu yang selalu dikenakan gadis itu. Bandana itu mengingatkan Doris pada ibunya. Ibunya pernah memberi Doris bandana yang serupa dan Doris ingat ia menyimpannya di dalam kotak – kotak yang kemudian ia kubur di belakang rumahnya.

Tiba-tiba gadis itu terjatuh. Senyum Doris memudar, kedua tangannya mencengkram pegangan pada kursi rodanya dengan kuat dan ia berusaha bangkit berdiri. Doris merasakan tangannya bergetar, ia berpegangan pada tepian jendela dan mulai menatap. Barisan tanaman di dekat pagar itu meledeknya, kaca jendela itu menghalanginya. Lisa sedang duduk di sana. Gadis itu menekuk lutut kecilnya dan menatap ke arah Doris. Yang membuat Doris terganggu adalah ruangan sempit itu. Doris mulai berderap merapat ke kaca jendela, tangannya mengetuk-ngetuk permukaan kaca itu dengan keras dan ia mulai berteriak menggumamkan sesuatu dengan tidak jelas.

Keributan seketika pecah. Seseorang di belakangnya berlari dan menangkap Doris. Doris terus berteriak, ia berusaha memberontak, kemudian Doris jatuh pingsan ketika sang perawat menancapkan jarum suntik di tubuhnya.

..

Yang sanggup dilihatnya dalah cahaya putih yang semakin membesar dari lampu di langit-langit. Ruangan itu berbau cairan beraroma tajam dan obat-obatan. Ranjangnya berbentuk persegi panjang, beralaskan seprai berwarna putih pucat dengan permukaan yang keras. Terdapat sebuah nakas kecil di sampingnya dan lebih banyak lampu-lampu yang menyoroti wajahnya. Doris teringat Lisa dan seketika ia mulai mengamuk. Pintu ruangan kemudian digeser terbuka, seorang perawat dan laki-laki itu masuk untuk mendekatinya. Doris berusaha bangkit, namun tangan dan kakinya dibiarkan terikat di atas ranjang. Wajahnya memerah, dahinya berkeringat.

“Tidak bisakah kau melepas ikatannya?” kata pria itu.

Sang perawat menggeleng menatap ke arahnya dan berbicara dengan suara pelan.

“Lisa! Lisa!” Doris mengap-megap, nafasnya tersengal, sekujur tubuhnya kaku. Pria itu mendekatinya, wajahnya tampak semakin familier dan Doris menjadi tenang.

“Saudariku.. ini Victor. Hei!”

Tangannya membelai kepala Doris dengan lembut dan wajahnya semakin menua. Doris merasakan rasa sedih yang menyengatnya. Sementara itu Victor Maurice, sang pastur, berdiri di sampingnya, matanya berkaca-kaca seolah laki-laki itu ikut merasakan kesedihan Doris. Kilasan ingatan yang bergerak cepat mengingatkan Doris tentang pria itu: kakaknya, yang berdiri di altar dan ikut menyaksikannya menyanyikan lagu di gereja. Kakaknya yang memanjat pohon dan membawakan Doris bunga kesukaannya. Kakaknya yang berlayar di danau dan membawa Doris dengan kapal rakitannya. Kakaknya yang menyelamatkan Doris ketika tenggelam.

“Ya.. ini Victor,” katanya sambil tersenyum.

“Victor..” Doris mengulangi dengan suara pelan dan laki-laki itu mengangguk.

“Dimana Lisa?”

“Dia baik-baik saja.”

“Tidak.”

“Dia baik-baik saja.”

Cahaya terang yang mengintip dari balik jendela itu membuktikan kata-katanya. Doris menatap Lisa berdiri di belakang sana, wajahnya tersenyum dan gadis itu melambai ke arahnya. Doris menatap langit-langit ruangan dan melakukan hal yang sama berjam-jam hingga perawat itu mengangkat dan mendudukannya di atas kursi roda.

Tempat itu hening, dinding-dindingnya bercat putih dan ada banyak kaca jendela. Lisa bisa berada dimana saja, tapi Doris sedang memerhatikan lantai yang bergerak menghampirinya ketika sang pastur mendorong kursi rodanya. Tatapan Doris sekosong langit malam, ia nyaris tidak bisa meraskan tubuhnya dan seisi pikirannya berhamburan keluar hingga lantai itu berakhir dan ia berada di atas rumput hijau.

Jari-jari kakinya menekuk, Doris merasakan udara dingin pagi itu menggelitik tengkuknya dan ia mulai menekankan kuku jarinya di atas pakaiannya ketika telinganya menangkap suara aliran arus sungai yang deras, kepakan sayap burung yang terbang meninggalkan dahan pohon juga udara dingin yang merambat ke sekujur tubuhnya. Tanah di bawah rumput hijau itu basah, sisa-sisa embun pagi hinggap di sela-sela rumput dan Doris melihat Lisa baru saja melompat mengikuti seekor katak yang bergerak menuju sungai.

“Apa kau merasa baikan?”

Suara itu berat dan serak. Sang pastur berdiri di belakangnya, memandangi Doris dan mengerjapkan matanya berkali-kali.

“Cuacanya sejuk sekali,” katanya sekali lagi.

Lisa masih berjuang mendapatkan kataknya. Kali ini Doris melihat tanaman rambat itu berusaha mengikat pagar kayu. Air berwarna kecoklatan mengisi lubang-lubang kecil di atas tanah dan setetes embun baru saja jatuh dari ranting pohon. Suara-suara itu, dengungannya, keheningan itu persis seperti yang diingatnya.

Ia tidak mengingat kapan pertama kali mendatangi bangunan bercat putih itu – rasanya sudah lama sekali, tapi Doris telah mengenali setiap sudutnya, retakan pada dinding-dindingnya yang menua, noda menghitam di kaca jendela lantai dua, dan suara-suara yang berdengung di sekitarnya. Pohon besar yang berdiri di taman mungkin telah berusia lebih tua dari bangunan itu sendiri. Setiap malam, Doris akan berdiri di belakang jendela ruangannya dan menyaksikan bagaimana dahan-dahan pohon itu melambai di kejauhan. Suatu malam ia pernah melihat Lisa berkeliaran di sekitar sana. Sang gadis, dengan rasa penasarannya mulai menjejaki hamparan rumput dan tanah basah dengan kaki telanjang. Gadis itu akan duduk di atas ayunan, memandang ke belakang jendela tempat Doris berdiri kemudian menghilang secepat angin. Lampu tamannya rusak, tembok besar di bagian belakang bangunan tidak lagi utuh. Tidak hanya sekali Doris melihat anjing liar berkeliaran di sekitar sana. Hewan itu bergerak menuju kaki bukit.

Setiap pagi seorang perawat akan mengetuk pintu kamarnya. Doris memerhatikan mereka selalu datang sebelum pukul tujuh tepat untuk memeriksa keadaannya, kemudian mereka akan menyuntikkan cairan ke dalam tubuh Doris dan dengungan itu lenyap begitu saja dari kepala Doris. Terkadang, Doris benar-benar merindukan Lisa: cara gadis itu melompat-lompat di atas rumput, atau suara tawanya yang melengking, juga rambut keemasannya yang selalu mengingatkan Doris pada ibunya. Victor memiliki rambut gelap dan kini warnanya telah berubah keperakan ketika laki-laki itu bertambah tua, tapi Doris memiliki rambut kemerahan, persis seperti lidah api yang menjilat cahaya mentari. Warna itu yang akan dipandangi Doris setiap kali ia terbangun dari tidurnya.

Malam harinya tidak lebih buruk di dalam bangunan itu. Semua pasien dikunci di dalam ruangan mereka, terkadang beberapa pasien lepas dari pengawasan dan mulai berkeliaran di sekitar koridor. Pernah suatu malam Doris terjaga dan mendapati pintu ruangannya tidak terkunci. Ia bergerak keluar tanpa alas kaki dan berjalan menyusuri lorong gelap menuju pintu keluar. Seorang petugas yang berjaga di meja resepsionis nyaris saja menangkapnya, Doris harus menunggu hingga wanita itu pergi ke toilet sebelum bergerak. Satu-satunya tempat yang ia tuju adalah tembok di belakang bangunan yang membentuk lubang besar.

Doris suka memandangi hewan-hewan kecil berkeliaran di sekitar sana. Ia suka melihat cahaya kumbang di sekitar kolam yang tak terawat itu, juga puing-puing bekas pecahan dinding bata dari sumur yang tak lagi terpakai. Di kejauhan terdapat sebuah pondok kayu tua yang habis terbakar. Pondok itu kini tak lagi berpenghungi. Kayu-kayunya menghitam dan sisa-sisa perbotan bertebaran seperti sampah yang bertumpuk di atas tanah. Kemudian ia berjalan ke arah hutan. Doris tahu tempat yang hendak ditujunya: kolam penyucian di belakang biara. Kolam gelap itu selalu memanggilnya. Terkadang ia mengira bahwa suara-suara di kepalanya berasal dari dalam kolam, air di sana menggenang dengan tenang, namun sesuatu memercik dari dalam: roh-roh itu. Doris berpikir roh-roh itu sedang berusaha memanggilnya. Namun, seorang petugas dari rumah sakit menemukannya sebelum Doris sampai di dekat kolam dan itu adalah pelarian terakhirnya setelah beberapa tahun lalu.

Kini, ia benar-benar sendirian. Lisa ada bersamanya, namun gadis itu seringnya menghilang tanpa sebab. Sang pastur sering mengunjunginya, tapi tidak setiap saat. Kemudian sesekali sang pastur bersama gadis itu, dan Doris melihat wajah yang tidak ingin dikenalinya. Tapi itu sudah bertahun-tahun lamanya ia melihat wajah itu. Sang iblis pasti telah tumbuh besar.

“Kau baik-baik saja, Dik?” sang pastur menundukkan wajahnya, menatap persis ke arah Doris yang bahkan tidak mengerjapkan mata sekalipun ketika memandangi ayunan tua di dekat pohon.

“Aku benar-benar ingin berbicara denganmu. Kau tidak tahu betapa kesepiannya aku.”

Tapi Doris – melebihi apa yang diketahuinya – lebih kesepian setelah menghabiskan belasan tahun terkurung di tempat ini.

Beritahu saya tanggapan kalian untuk cerita ini 😁

THE NURTURE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang