8 (A)

101 28 1
                                    

CLAIRE

Cahaya besar itu menyorot dari kejauhan. Aku menyaksikan lampu sirine menari-nari di ujung sana dan puluhan orang berkerumun mengelilingi tempat itu. Keributan seketika pecah saat mobil-mobil polisi berdatangan, kemudian disusul oleh mobil ambulans yang datang tak lama kemudian. Suara-suara percakapan mendengung di sekitar sana, awak media memenuhi lokasi kejadian dan berusaha menerobos garis kuning untuk berbicara dengan petugas.
Aku melihatmu berdiri di ujung sana, kau sama pucatnya sepertiku. Kau begitu terguncang, tubuhmu kaku dan aku dapat merasakan darah mengairi sekujur tubuhku, kaki dan tanganku terasa lemas dan tiba-tiba saja paru-paruku terasa sesak.

Aku menghentikan mobilku di pinggir jalan, menyandarkan kepalaku di atas setir saat rasa pening itu tiba-tiba menyerangku. Ashley ditemukan tewas terjatuh dari atap bangunan tua. Seseorang mengabarkan berita itu melalui ponselmu. Meskipun kau berusaha menutupinya, namun sudah terlambat untuk itu. Aku mendapati sekujur tubuhku lemas dan aku harus menunggu hingga kau pergi lebih dulu sebelum aku menyusulmu, karena aku tahu kau tidak akan membiarkanku untuk menyaksikan itu. Tapi aku mengenal Ashley dan tidak ada yang dapat menghentikanku kali ini.

Kedua kakiku bergetar ketika aku begerak turun dari mobil. Pandanganku kabur saat aku berusaha menerobos awak media dan berbicara dengan seorang petugas untuk membiarkanku masuk. Ketika petugas itu tidak mengizinkanku masuk, kami berdebat dan saat itulah kau muncul. Kau dengan wajah pucatmu, seragammu kotor dan kau tampak berantakan. Aku berlari melewati petugas itu dan menghambur ke arahmu. Kau menggenggamku erat, mendekapku persis ketika aku tidak dapat membendung lagi tangisanku saat melihat petugas medis membawa jasad Ashley ke dalam ambulans.

“Tidak! Tidak!! Keith, biarkan aku melihatnya!” teriakku. “Biarkan aku melihatnya! Itu pasti bukan dia! Itu tidak mungkin Ashley!”

Aku berusaha melepas dekapanmu, tapi kau lebih kuat. Kau menahanku di sana hingga aku memukul bahumu, berusaha untuk membebaskan diriku.

“Dia sudah mati!” bisikmu di telingaku. “Dia sudah mati.”

“Tidak!”

“Ya. Biarkan mereka membawanya untuk di autopsi.”

“Tidak, kau tidak boleh..” tangisku pecah, suaraku bergetar. “Mereka tidak boleh menyentuhnya.. kumohon jangan..”

“Ssshh.. Claire..”

Dalam pandangan yang kabur, kusaksikan keributan pecah ketika awak media berusaha mendekati ambulans untuk mengambil gambar. Lima orang petugas telah berlari untuk menghadang mereka. Kini kau melonggarkan dekapanmu, menyeretku untuk menjauh dari kerumunan orang dan membawaku kembali ke dalam mobil.

“Kumohon tunggu disini sampai aku kembali,” katamu sembari menatapku dari luar jendela. Ketika aku hanya menatap lurus alih-alih menjawabmu, kau berteriak. “Apa aku bisa memegang kata-katamu? Claire?”

“Ya.”

“Ya, apa?”

“Aku akan menunggu disini.”

“Kunci pintunya! Aku tidak akan lama.”

Kau menghilang dengan cepat. Kupandangi kepergianmu, namun aku juga dapat merasakan kekosongan yang kau alami.

Berkali-kali aku berusaha menghibur diriku dengan berpikir bahwa ini hanyalah mimpi buruk, tapi suara keributan di luar sana, rasa sakit pada kepalaku, dan apa ayang kulihat barusan menyadarkanku bahwa ini adalah satu kenyataan pahit lainnya yang harus kuterima setelah kehilangan Hazel dan Ibuku.

Beritahu saya tanggapan kalian..

THE NURTURE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang