Pk-6

3.1K 211 4
                                    

Setiap orang punya cara tersendiri untuk mengungkapkan kesedihannya.










Suara dentuman musik kini terdengar sangat nyaring sampai bisa merusak pendengaran. Wanita atau pun pria terlihat begitu asik bergoyang ria mengikuti alunan nada irama.

"Cewek murahan," gumam Angga.

Angga meminum habis anggur merah ke-10 yang ia pesan dalam gelas kecil. Angga memilih tempat ini untuk menghilangkan rasa stres di kepalanya. Sudah lama sejak ia ditinggalkan oleh wanita yang ia cintai membuatnya jadi lebih sering datang ke tempat seperti ini. Ditambah lagi dengan ibunya yang harus meninggalkan Angga, membuat laki-laki itu semakin merasa terpuruk dan sendirian.

"Hi sayang mau aku temenin?" tanya wanita berpakaian seksi yang mulai menghampiri Angga dan meraba-raba wajahnya.

"Najis jauhin tangan lo," umpat Angga kesal lalu berjalan pergi keluar meninggalkan wanita itu dan berjalan pergi keluar tempat tersebut.

Angga jalan sempoyongan ke arah parkiran. Dia cepat-cepat masuk ke dalam mobilnya.

Brugh!

Angga menutup rapat pintu mobilnya. Lalu ia mulai melajukan mobil meski dalam keadaan mabuk berat.

"Cewek anjing! Pembohong! Argh... bangsat!" segala umpatan dikeluarkan oleh Angga. Tanpa di duga setetes air mata keluar membasahi pipinya.

Ckit!

Angga menghentikan mobil dengan mendadak. Angga menenggelamkan wajahnya ke permukaan stir mobil.

"Delia, Mamah... Angga butuh kalian, kenapa kalian tega ninggalin Angga sendiri?" lirihnya terisak menangis.

Lelaki memang kuat. Namun siapa sangka jika di dalam ketangguhan itu terdapat segurat rasa sakit yang dipendam dengan apik. Angga memang lelaki tangguh, sangar dan kuat. Namun itu semua hilang jika berhubungan dengan ibu dan Delia mantannya.

*
*
*

Bella melangkahkan kaki memasuki area rumahnya.  Dia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan, itu adalah satu-satunya cara agar ia bisa menerima semua yang ada di dalam sana.

"Bella pulang."

Tidak ada sahutan ataupun jawaban dari kedua orang tuanya. Suara angin pun lebih kencang dari sunyinya rumah ini. Bella memeriksa ke ruang dapur dan tidak ada satupun orang di sana.

"Hebat ya orang tua gue, gak ada satupun yang mengerti apa yang gue butuhkan selama ini," lirih Bella tersenyum gentir.

Bella berjalan memasuki kamar. Satu-satunya tempat paling damai dan tenang baginya. Hanya ada Bella dan kesunyian yang ada di dalamnya.


Bella terbaring lemas di atas ranjang empuk miliknya. Memejamkan mata mengharapkan kedamaian datang menemui dirinya. Ingin sekali terlelap tidur agar dapat melupakan semua masalahnya. Tapi Bella tidak bisa tidur dalam keadaan pikiran yang kacau balau.

"Hidup gue menyedihkan. Sangat menyedihkan dan gue benci ketika dunia mempermainkan gue dengan kebahagiaan yang gak pernah gue rasakan."

Preman Kampus {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang