"Kenapa? Gak diangkat juga?" tanya Dela menepuk bahu Bella pelan, lalu duduk disampingnya.
Bella hanya menggeleng, pertanda bahwa ucapan Dela memang benar. Angga tak kunjung mengangkat telpone darinya. Ponsel Bella sudah menyala. Untung saja, Dela membawa power bank. Bella bisa meminjam jadinya.
"Mau ke Kampus aja? Temuin langsung orangnya," usul Dela.
"Gak usah. Lo juga belum sembuh total kan? Gue di sini aja temenin lo," ucap Bella tersenyum manis.
Ya. Mereka masih berada di rumah pohon. Selepas kejadian itu, mereka belum beranjak dari tempat ini. Merasa bernostalgia mengingat masa kecil mereka yang menggemaskan.
"Yakin? Gue gak papa Bell. Kalo mau ke Kampus ayo-ayo aja."
"Enggak. Kita di sini sampai suasana hati lo kembali ceria. Gue gak mau liat Dela yang cengeng," ucap Bella terkekeh.
Mereka duduk santai di pinggiran dekat tangga rumah pohon. Tempat favorite mereka jika datang ke sini. Tempat saksi di mana segala kesedihan pernah di ceritakan di sini. Seperti biasanya, mereka akan berbincang sambil sesekali bercanda. Seperti saling mengejek sewaktu kecil.
"Lo lucu pas kecil ya Del. Gemuk, gemes kalo lagi nangis pas jatoh." Bella tertawa keras saat mengingat kejadian itu. Betapa Indah masa kecilnya dulu, berbeda saat umurnya sudah menginjak remaja juga dewasa. Semakin rumit dan gampang terpuruk karena suatu hal.
"Lo juga lucuan pas kecil. Giginya ompong. Sekarang udah besar, kenapa rapi banget tu gigi. Pake ilmu hitam ya lo?" tuduh Dela.
"Enak aja! Asli tau, gigi ori ini."
Ting!
Satu pesan masuk dari Angga.
Angga Pacar
Angga. A : Malam nanti, kita keluar. Dandan yang cantik yah.
Entah mengapa, tapi jantung Bella selalu saja berdetak tak kawuran. Seulas senyum ia terbitkan. Menambah kesan bahagia dalam dirinya. Angga selalu manis akhir-akhir ini. Selalu bisa membuat Bella salah tingkah.
"Cie, dari doi? Pantes senyum- senyum. Orang gila baru."
Tukh!
"Iri? Bilang kawan," teriak Bella girang. Ia berlari setelah berhasil membuat Dela kesakitan akibat ditimpuk sebuah botol minuman.
Bella berlari cepat menuruni setiap tangga. Tak sabar menunggu waktu malam. Sepertinya, malam nanti akan di penuhi oleh suasana romantis bersama Angga. Bella harap, kisah cintanya akan romantis seperti cerita novel pada umumnya. Hidup bahagia, senyum bahagia, dan menangis karena bahagia.
"MAU KEMANA?" teriak Dela dari atas rumah pohon.
"Pulang. Nanti malem ada acara. Sorry gue tinggal, bye Dela."
****
"Transfer uang sebanyak 5 juta. Sekarang. Aku ingin menyewa anak buah."
"Aku gak punya uang!"
"Mau melawan kamu hah!"
Brak....Bough....
Wanita itu tersungkur. Kakinya tergores lantai. Darah segar keluar dari sana. Membuat suasana menjadi tambah seram.
"Aku gak bohong. Hidup saya juga susah."
"KERJA!" bentak laki-laki itu marah.
"Atau kamu akan terima akibatnya."
"Baik. Sore nanti akan saya kirim uang. Tunggu saja."
___o0o___
Baru saja keluar sari mobil. Tubuh Angga langsung menegang dikala mendapat pelukan tiba-tiba dari Delia. Tak heran jika dia sangat muak dengan tingkah manja Delia. Oh, sepertinya gadis ini sudah pulang dari luar kota. Ah, kenapa sebentar sekali?
"Lepas," ucap Angga dingin.
"Enggak. Aku kangen kamu, biarin aku peluk kamu. Oh ya, satu hari tanpa aku, kamu juga rindu aku kan?" Delia menatap lekat wajah Angga.
"Gue gak rindu. Hidup gue tenang tanpa lo."
"Kok jahat! Selama ini, kamu gak pernah ngomong kasar sama aku. Kenapa berubah sih. Oh aku tau, pasti pengaruh dari cewek sialan itu kan!" teriak Delia prustasi.
"Dia punya nama. Bella, itu namanya. Jangan panggil dia sialan," ancam Angga menatap tajam Delia.
"Mih....Dad... liat Angga! Dia kasar sama aku," Adu Delia bergelantung manja dilengan kekar ayahnya.
"Angga. Turuti mau Delia ya. Dia baru aja pulang loh, masa kamu gini," ucap Ibu Delia mengingatkan.
"Maaf."
***
Bella masih bergulat dengan pikirannya. Kenapa nomor Angga mendadak tak aktip seperti ini? Apa ada masalah dengan ponselnya? Ah, mana mungkin. Angga kan anak sultan, sebuah ponsel adalah hal kecil.
"Kamu kemana sih Angga. Susah banget dihubungin," gumam Bella sedih menatap sendu layar ponselnya.
Bella menyerah. Padahal ia ingin menanyakan pakaian apa yang cocok Bella kenakan nanti. Tapi nomor Angga tak aktif. Sudahlah, Bella akan memakai pakaian yang ada saja.
Brukh....Prang....
Suara nyaring dari arah dapur mengagetkan Bella. Dengan cepat Bella berlari ke arahnya. Menemukan Tina yang sedang berjongkok memungut serpihan kaca piring yang pecah.
"Mah, kok bisa pecah? Mamah gak papa kan?" tanya Bella khawatir.
Tina mendongakkan kepala. Menatap lekat wajah putrinya. "Enggak sayang, Mamah gak apa-apa."
"Sini Bella bantu."
Bella membantu membersihkan serpihan piring itu. Memasukkan pecahan piring ke dalam kantung plastik berwarna hitam. Lalu membuangnya ke tong sampah depan rumah. Biar nanti petugas sampah harian mengangkutnya.
"Mamah bener gak papa? Kok mukanya pucet? " Bella menyentuh pelan pipi Tina.
"Dingin," gumam Bella pelan.
"Mamah sakit?" tanya Bella cemas memeriksa suhu tubuh Tina.
Tina menggeleng. "Mamah baik. Cuman kurang istirahat aja. Mamah ke kamar yah. Mau tidur."
"Iya."
"Oh iya Mah. Bella malam nanti mau pergi, Bella izin keluar ya Mah," tambah Bella tersenyum manis.
"Iya. Hati-hati. Pulangnya jangan terlalu malam. Nanti kamu sakit."
Bella mengangguk cepat. Perasaannya sungguh sangat senang. Jadi tak sabar menunggu malam tiba. Bella rasanya mau melewati waktu saja. Ingin tau seberapa romantisnya ia nanti bersama sang kekasih Angga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Preman Kampus {END}
Teen FictionTerkadang sikap pemarah menutupi semua kesedihan pada seseorang. Mungkin umumnya wanita memang yang sering dikejar oleh pria, namun apakah salah jika wanita yang mengejar pria? Bella mengenyampingkan rasa malu, gengsi dan rasa takut akan orang lain...