Gembira. Kebahagiaanku hanya sebatas mendapat satu like.
Gembira. Kebahagiaanku hanya sebatas satu kata, "Semangat, ya."
Gembira. Kebahagiaanku hanya sebatas kata lain berbunyi, "Semoga kamu bahagia, ya."
Tidak ada yang peduli. Sebenarnya. Mereka hanya sebatas memberi dukungan melalui ketikan, tanpa ada rasa ketika mengetikkan. Jari-jari itu tak memiliki otak, tetapi mengapa aku bangga ketika melihat semua ketikan tersebut? Bodoh. Bodoh. Bodoh. Ah, peduli setan terhadap semua pemikir yang berkata bahwa aku bodoh. Memang benar, aku tidak menyangkal, apalagi membalas dengan dengki.
Sebenarnya, aku membutuhkan itu semua sebagai hiburan semata. Hidupku hampa. Tak ada kepedulian sekitar. Bahkan di sosial media sekalipun, aku menyadarinya. Sibuk atas kehidupan masing-masing. Manusia memang seperti itu, bukan? Namun, mengapa aku tetap suka mencari pengakuan.
Mengatakan bahwa aku adalah si lemah kecil tak berdaya. Agaknya salah, sebenarnya. Aku adalah si kuat tak berotak.
Mengakui diri sendiri adalah bentuk rasa terima kasih karena telah diberikan nyawa.
Namun, sepertinya aku sudah salah memilih jalan. Obsesiku atas sebuah pengakuan dari sosial media semakin menjadi-jadi. Aku semakin kehilangan akal kewarasan ini. Setiap detik membaca komentar mereka satu per satu. Tersenyum sendiri, bak si gila botak di ujung jalan.
Kalau-kalau aku memang sudah gila. Mungkin itu jauh lebih baik, dibanding kenyataan yang sebenarnya.
Si kuat tak berotak yang haus akan perhatian ini sebenarnya telah tewas. Aku tewas setelah mencoba mengikuti ketenaran yang sedang viral kala itu.
Untuk kamu, jangan coba-coba bertingkah tolol sepertiku, ya. Pengakuan dari orang lain adalah hal buruk jika berlebihan mengharapkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Jari Bicara
KurzgeschichtenBeberapa kata sulit terucap. Maka, biarkan jari bicara.