Aku terengah-engah. Napasku memburu, mataku mulai memburam. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Sudah dua hari kulalui, tapi aku tetap tidak bisa menemukan jalan keluar. Tempat ini seperti labirin yang sangat luas, terbuat dari kumpulan akar besar dan membentuk dinding yang menjulang tinggi, seakan muncul begitu saja dari bawah tanah. Aku tidak pernah menemukan jalan buntu, seakan aku menyusuri jalan tanpa ujung. Tiap kali aku berusaha memanjat dindingnya, akarnya seakan tumbuh makin tinggi dan membuatku menyerah untuk melihat jalan keluar dari atas. Aku duduk menyandarkan punggung ke dinding akar untuk mengistirahatkan tubuhku yang lelah seraya menyeka keringat dari wajahku. Tas di punggung kulepas dan membukanya untuk mengambil roti yang sedikit berjamur. Aku membuka bungkusannya dan merobek bagian roti yang berjamur, kemudian mulai memakannya. Sambil mengunyah, kepalaku mendongak ke langit. Matahari terik menyinari wajahku, membuatku memikirkan sesuatu. Pikiran itu kembali membuatku takut; dadaku bergemuruh karena detak jantung yang makin cepat dan tangan yang memegang bungkus roti bergetar hebat. Apakah orang-orang berpikir kalau aku sudah mati? Bagaimana dengan sahabatku? Apa dia terjebak di labirin ini juga sepertiku? Aku meremas bungkus roti yang sudah kosong seraya menggelengkan kepala. Tidak ada gunanya memikirkan hal ini. Yang harus kulakukan adalah keluar dari labirin ini. Dengan tekad kuat, aku menutup tasku dan menaruhnya di punggung. Aku berdiri dan berjalan lagi menyusuri lika-liku labirin.
Kesalahan :
Tidak ditemukan
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Jari Bicara
Short StoryBeberapa kata sulit terucap. Maka, biarkan jari bicara.