Tenggelam atau terbang? Aku merindukannya. Menulis namanya di setiap lembaran atma. Karena lisanku tak pernah berarti, bagi siapapun. Badai datang menghampiri. Mendorongku, jatuh. Tenggelam atau terjatuh? Ketiganya serupa, bagiku. Yang kurindukan akhirnya mengetuk pintu. Aku ingin bicara. Tapi lisanku tak pernah berarti. Karena itu aturanya. Bahkan setelah kebebasan di depan netra, aturan selalu membelenggu. Aku hanya diam, menatap wujudnya. Dia tersenyum, menunduk jam ditangannya. Sudah waktunya. Aku balas meringis, mengikuti langkahnya. Bahunya gagah, tinggi. Rupanya? Entah, aku tidak bisa menuliskannya. Perasaan? Ah, sedari tadi aku hanya mengoceh. Itu karena tidak ada rasa apapun. Semua berjalan semestinya. Aku tidak ingin dan tidak bisa membantah. Sampai, di sana. Dia memelukku, menenggelamkanku. Kali ini sungguh tenggelam, bukan terbang ataupun jatuh.
Tenggelam.Semuanya terasa taksa. Air? Apa ini yang dinamakan air? Ah, aku sudah lupa akan wujudnya. Apakah tenggelam selalu tentang air? Napasku begitu sesak. Netraku sudah tidak memiliki guna. Rungu? Ya, aku masih memilikinya. Lisan? Tak perlu ditanyakan. Dia tak pernah berarti. Ah, waktu. Ini sudah batasnya. Perlukah aku tuliskan lagi? Aku bukan siapapun. Tuliskan tentang tenggelam. Tidak, itu tidak bisa dituliskan. Bahkan mungkin aku sendiri sedang tenggelam dalam kata-kata ini. Tak memiliki makna. Tujuan, rupa, dan suara. Hanya dalam kata, yang terbatasi oleh angka. Kurang? Aku tidak tau. Aku menulisnya dalam buta. Kapan ini berakhir? Sudahlah.
Kesalahan :
Tidak ditemukan
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Jari Bicara
Short StoryBeberapa kata sulit terucap. Maka, biarkan jari bicara.