Aku mengais, mengorek, mendobrak angan demi hal mustahil. Konyol, dungu, dan tak berakal. Sadar. Aku sadar diri ini bodoh. Astu, astu, astu. Mengemis hal itu, aku mencari-cari. Bahkan jika harus tenggelam bersama ribuan duri setajam belati, aku rela. Bodoh. Memang, aku sadar. Anca di antara api kebinasaan, perlahan menenggelamkan jati diri.
Satu, dua bertanya-tanya, "Siapa aku?"
Satu, dua bertanya-tanya, "Kenapa aku memerlukan pengakuan?"
Kasih sayang. Kasih sayang. Kasih sayang. Sebenarnya, tak butuh banyak hal. Perhatian. Mungkin, benar. Aku butuh itu.
Tatkala semua sibuk mendobrak pintu masa depan mereka. Aku justru sibuk tenggelam bersama pemikiran konyol. Menggerogoti diri sendiri. Mengemis satu buah cinta dari layar cerah menyakitkan mata. Duhai sayang, lihatlah siapa yang bodoh. Aku atau ketikan manis dari jari-jari tak berakal ini?
Namun, memang kenapa? Apa salah diri? Aksama atas dosa-dosa ini sudah tak dapat dielakkan lagi. Menari-nari di atas ketidaknyamanan daksa tampaknya tidak masalah. Bermimpi akan kenyataan bahwa tak ada yang peduli.
Mereka hanya kasihan. Tidak ada empati. Memang mereka paham dirimu itu seperti apa? Di dunia ini, manusia memiliki masalahnya masing-masing. Kau berkata masalahmu rumit, padahal menurut pihak lain yang lebih miris, itu masalah sepele. Caramu saja yang tidak bijaksana dalam melangkahkan tungkai, Bung. Itu adalah kata-kata yang selalu menyadarkanku sesaat. Sedetik, tersadar. Sedetik ke depan, kembali lagi mengemis.
Sudah berakhir. Sejak dahulu sudah berakhir. Tak ada yang bisa menyelamatkan gadis bodoh sepertiku ini. Memang, akalku sudah mati sejak awal melangkah menuju dunia bodoh itu. Bukan dunia yang salah. Namun, caraku memandang dunia yang salah.
Dari aku, gadis bodoh yang tak layak diberi belas kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Jari Bicara
Proză scurtăBeberapa kata sulit terucap. Maka, biarkan jari bicara.