Temanku berkata aku harus sabar setiap kali dia melayangkan berbagai pukulan pada tubuh ini. Lagi, lagi, dan lagi. Ayahku memang seperti itu. Tidak pernah puas dengan satu pukulan. Semenjak kepergian Ibu, Ayah mulai menyakiti tubuhku. Bukan, bukan hanya fisik, namun juga batin. Kata-kata kasarnya selalu membuat hatiku semakin sakit, sakit, sakit sekali.
"Kau adalah pembunuh!"
Apa dia sudah kehilangan akal sehatnya? Lagi, lagi dan lagi. Selesai pulang kerja, aku selalu ditarik paksa menuju sebuah ruangan. Gelap, aku tidak mampu melihat apapun kecuali senyumannya yang selalu menemaniku.
"Kau tidak salah, Bella. Yang salah adalah aku."
Aku mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Sakit. Sakit, sakit, Bu, Yah. Namun mereka tidak mendengarkannya. Ibu pantas mati, dan sebentar lagi Ayah." Aku sepenuhnya yakin bahwa temanku pun gila. Huh, di dunia ini, tidak ada yang waras selain aku, ya?
Keesokkan harinya aku melihat Ayahku tergeletak dengan tubuh bersimbah darah, aku lari karena tahu jika pembunuh yang telah membunuh Ibuku telah tiba. Bukan, bukan Ayahku.
Lalu aku melihat seorang menghampiriku dengan seragam polisi dan berkata, "Dek, berikan pisau ditanganmu."
"Tidak! Aku tidak membunuhnya! Adikku yang membunuh mereka!" Aku panik, sebelum pergi dengan polisi itu, aku melirik kearahnya. Dia tersenyum.
•••
Kira-kira, apa yang janggal dari cerita diatas? Jika kamu tahu, stttt. Simpan saja opinimu dalam hati, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Jari Bicara
Short StoryBeberapa kata sulit terucap. Maka, biarkan jari bicara.