Aku meluruh, ternyata aku rapuh. Aku berduka, aku terluka, entah siapa yang mencipta. Ah, tidak, aku harus mengakuinya, itu semua dicipta oleh aku, diri yang begitu kucinta. Aku mencipta luka seolah-olah aku adalah sosok terkuat di dunia, aku mencipta duka seolah-olah hidupku hanya dipenuhi oleh bahagia. Aku heran, betapa naifnya aku hingga memberi luka pada diri yang sangat menginginkan bahagia.
Kukira, duka hanya terduduk ketika aku sendirian, kukira luka menghampiri hanya ketika aku kesepian. Namun, ketika aku sudah di tengah-tengah insan, luka itu tetap mendarat, tepat di hati yang tak bisa kembali sehat.
Ingin tahu bagaimana aku mencipta duka nan luka? Aku mencipta mereka dengan berkoar-koar mencari pujian, berlari ke sana kemari hanya untuk menyombongkan. Menyenangkan, mendapat tepung tangan dari banyak insan sungguhlah membahagikan. Namun, tak semua jawaban memberi kebahagiaan, tetapi kadang mereka memberi jawaban yang menyedihkan. Tuhan, betapa besar egoku yang terbeban, dan itu hanya untuk sebuah pujian.
Aku hidup bak di dunia fantasi yang kucipta sendiri. Di sana, aku hidup sebagai orang yang terhebat, berperan sebagai pemimpin yang sangat kuat hingga para insan memberi tepuk tangan yang sungguh erat.
Namun, tiba-tiba dunia itu hancur, bersama aku yang melebur.
Melebur ... lalu kembali membaur.
Membaur bersama luka, duka, angan, dan harapan untuk kembali bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Jari Bicara
Short StoryBeberapa kata sulit terucap. Maka, biarkan jari bicara.