Mari kita mulai segalanya!
Lagi dan lagi. Secarik kertas bertulis darah merah yang sudah mengering didapat Nindya. Tidak ada rasa takut sama sekali bagi gadis yang dijuluki 'si cupu' tersebut. Ia meremas surat teror itu hingga berubah menjadi gumpalan. Kemudian, melemparnya tepat ke dalam kotak sampah terdekat.
"Eh, cupu. Ikut gue!" Sentak seorang siswi.
Belum sempat Nindya menolak, kedua tangannya sudah ditarik secara paksa. Semua orang sudah berkumpul di taman belakang sekolah. Layaknya mengantre untuk mendapat hiburan gratis.
Aksi bullying ini rupanya dimulai dengan tamparan keras di pipi bagian kanan Nindya. Sedangkan, semua orang merasa begitu bahagia tanpa berniat memberi belas kasihan untuknya.
Nindya terjerembap ketika seseorang mendorongnya dari belakang. Lidya, gadis itu tertawa keras. Merasa menang saat Nindya bersujud di kakinya.
Kacamata tebal miliknya terjatuh lumayan jauh. Nindya berusaha meraihnya, saat itu juga ia melihat seseorang tengah tersenyum simpul menatapnya. Dengan menggumamkan kata, "Bersiaplah, kita mulai sekarang!"
Semuanya menggelap, Nindya kehilangan kesadaran. Ketika sadar, keadaan terbalik. Lidya dan dayang-dayangnya dengan tampilan berantakan—sungguh mengenaskan.
"Balas dendam yang sangat memuaskan."
Ya! Kata itulah yang berhasil ditangkap Nindya. Sebelum akhirnya gadis–berpakaian putih dihiasi noda darah–itu menghilang. Layaknya tertelan pohon beringin belakang sekolah—tempat Nindya selalu mendapat siksa.
•••
Kira-kira, apa yang janggal dari cerita diatas? Jika kamu tahu, stttt. Simpan saja opinimu dalam hati, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Jari Bicara
Short StoryBeberapa kata sulit terucap. Maka, biarkan jari bicara.