ARES 10

2.5K 237 5
                                    

Ares berharap waktu cepat berlalu. Ia ingin setelah pulang sekolah nanti segera ke rumah sakit menjenguk Barra. Dalam hati Ares begitu sangat khawatir. Ia terus saja mengutak-atik pulpennya untuk mencoba mengusir rasa khawatir dalam dada.

Sampai saat ini Ares sendiri masih heran, mengapa Barra bisa sampai seperti itu? “El.. Lu tau nggak si Barra kenapa? Maksud gue kok dia bisa babak belur sih?“ tanya Ares pada Ellie yang duduk di depan mejanya.

Ellie memutar badannya. “Sini deh..“ ucap Ellie dengan nada berbisik meminta Ares untuk mendekat. “Kata temen-temen sih itu ulah si Adithama.“ ucap Ellie pelan melirik ke kiri dan ke kanan kalau-kalau ada seseorang yang mendengar pembicaraan keduanya.

Ares terdiam. Adithama berulah lagi? Kali ini apa masalahnya? Setau Ares, Barra tidak terlalu dekat dengan Adithama. Tapi, mengapa Adithama sampai hati memukuli Barra sampai dirawat di rumah sakit? Ini tidak bisa dibiarkan. Ares harus meminta penjelasan dari Adithama.

“Ad!“ seru Ares ketika Adithama menaiki motor. Adithama pun menoleh. Seperti biasa tatapan Adithama begitu datar tanpa ekspresi. “Gue nebeng yah? Anterin gue ke rumah sakit.“ ucap Ares. Adithama diam. Ia menatap mata Ares lurus.

“Gak bisa. Gue sibuk.“ sahut Adithama ketus. Ia pun memasang helm. Ares tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menginterogasi Adithama. Ia pun otomatis langsung naik ke motor Adithama. Ares tidak mau tau. Pokoknya Adithama harus mengantarnya ke rumah sakit.

Adithama kesal. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala menuruti keinginan Ares. “Jangan ngebut.“ ucap Ares. Adithama diam saja tidak menyahut. Ia pun mulai melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Tidak ada pembicaraan apapun saat ini.

“Ad..“ seru Ares. Adithama diam tak bergeming. “Lu yang udah ngeroyok Barra?“ cetus Ares. Sudut mata Adithama mulai menajam. “Kalo iya emangnya kenapa?“

“Dia nggak punya salah sama lu.. Tapi kenapa lu malah ngeroyok dia?“

“Pengen aja.“

“Lu kenapa sih selalu ca—“

“Daripada lu nyari celah kesalahan gue.. Mending lu cari pelaku yang udah nyebarin foto lu.. Turun.“ ucap Adithama ketika motornya menepi.

“Apa?“ seru Ares memastikan.

“Gue bilang turun.“

“Ini belum nyampe rumah sakit loh Ad.“

“Gue gak peduli.“

“Lu musti tau satu hal Ad. Lu gebukin anak orang ampe mati pun gue gak bakalan nerima perasaan lu.“

Adithama semakin geram. Ia pun segera melajukan motornya. Ares mendesis kesal ketika Adithama meninggalkannya sendirian di pinggir jalan. Ini masih separuh jalan lagi untuk tiba sampai kesana. Ares pun melambaikan tangan. Semoga ada angkot yang mau menyinggahi nya disini.

“Ke RS terdekat ya mang.“ ucap Ares. Ia bersyukur bahwa masih ada angkot yang lewat siang-siang begini.

Sesampainya di rumah sakit. Ares langsung menuju tempat Barra dirawat. Jantung Ares berdegup kencang ketika melihat Barra dipenuhi banyak perban di balik kaca kecil pintu ruangan Barra.

Ares memutar knop pintu dengan berat hati. Disana ada ibu Barra mendampingi. “Assalamu'alaikum tante..“ ucap Ares. Ia iba melihat kondisi Barra yang begitu memprihatinkan. Barra tidak setampan itu lagi. Wajahnya seperti tidak berbentuk karena luka lebam.

“Wa'alaikumussalam.. Nama kamu siapa, nak?“

“Ares tante..“

Ares mendekati Barra. Barra tersenyum samar. Tentu saja karena ia harus merasakan nyeri amat sangat. “Kenapa nggak lapor polisi aja tante?“ ucap Ares. Raut muka Farhaira mendadak puas. Bukannya Fatin tidak mau melaporkan pelaku pengeroyokan atas anaknya ke polisi. Tapi, karena si pelaku adalah orang penting dengan status masih di atas keluarga mereka, Farhaira dan suami tidak bisa berbuat apa-apa.

Ares [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang