ARES 27

1.4K 124 9
                                    

Semilir angin nan sejuk menerpa kulit. Helaian rambutnya berkibar dengan cantik dan indah. Semua orang mungkin akan memuji cerahnya cuaca dan sejuknya angin yang berhembus. Namun, tidak dengan dirinya.

Ia terus saja merutuki nasib dan jalan hidupnya yang buruk. Hampa. Itulah yang ia rasa saat ini. Sinar matahari secerah dan seterang itu bahkan tak mampu menghalau kehampaan dalam hati. Ia pasrah dalam derita. Menangis darah pun tak akan pernah bisa memutar kembali waktu.

Di belakang sana seorang pria berdiri. Ia masih mengenakan stelan jas lengkap. Bahkan ia harus membatalkan rapat penting siang ini demi sang pujaan hati. Tidak apa-apa jikalau ia harus kehilangan kontrak itu. Harta bisa dicari. Namun, sang pujaan hati adalah segala-galanya dalam hidup ini.

Irfan diminta untuk segera pulang oleh Dzafina, sang kakak. Ini atas permintaan Diomira, sang ibu. Katanya Ami urung makan jua sedari tadi pagi. Irfan tentu dilanda perasaan cemas dan khawatir. Ya tuhan, tolong jagalah Ami dan jabang bayi yang ada di dalam perutnya, batin Irfan berdo'a.

Irfan pun menghampiri sang pujaan hati. Dia terlihat semakin kurus. Irfan berjongkok di hadapan sang pujaan hati. Ia kecup tangan itu dengan lembut dan penuh kasih sayang. Dia adalah calon ibu untuk anaknya nanti. ”Makan dulu ya?” seru Irfan. Ia berharap Ami mau menuruti permintaannya.

Irfan tidak ingin Ami kenapa-napa. Ia ingin Ami sehat dan segar bugar. Apapun akan Irfan lakukan. Ami membuang muka. Ia masih tidak sudi menatap wajah penuh siasat jahat dan licik itu. Ya, anggap saja Irfan itu pria brengsek. Lebih brengsek dari seorang narapidana sekali pun.

Satu dua tiga. Suara rintik hujan mulai terdengar. Keheningan menyelimuti keduanya. ”Minggu depan kita ketemu sama Rakha, ok?” ucap Irfan. Timbul secercah perasaan perih di hati ketika ia terpaksa harus menyebut nama sang mantan suami, Rakha.

Pancingan Irfan berhasil. Ami menoleh padanya. ”Tapi, aku mohon, jangan sampai pertemuan kalian nanti semakin memperkeruh suasana. Aku tau Ami ini pahit buat kamu. Tapi, jalan kita dan dia sekarang udah beda.”

”Fan.. Gimana caranya supaya gue bisa berhenti benci sama lo? Lo udah hancurin dunia gue berkeping-keping. Lo manusia terjahat yang pernah gue temuin dalam hidup gue Fan. Plis kasih tau gue. Gue bingung musti gimana Fan. Plis..”

”Belajar buat cinta dan sayang sama aku, Ami. Nggak ada jalan keluar selain itu. Di dalam sana ada darah daging aku, anak kita. Jangan sampai keegoisan kamu bikin kondisi kamu down. Kalo terjadi apa-apa sama calon anak kita nanti gimana?”

”Gue nggak bisa Fan.. Gue masih sayang sama mas Rakha..”

Irfan diam sejenak. Hujan semakin deras. Ia pun berdiri, lalu mendorong kursi roda Ami ke tepian. Ia kembali berjongkok di hadapan Ami seraya memegang kedua tangan Ami. Berat hati ini ketika mendengar Ami mengatakan masih begitu sangat mencintai Rakha. Itu manusiawi, karena perpisahan mereka bukan karena sudah tak cinta lagi, melainkan karena khilaf dan dosa yang telah Irfan perbuat pada Ami.

”Biar aku aja..” seru Irfan. ”Cukup aku aja yang cintai kamu, Ami. Kasih aku kesempatan buat nebus dosa-dosa aku. Aku tau ini pahit. Tapi, aku mau kita mulai hidup baru. Belajar berjalan di atas duri buat sampai ke tujuan, yaitu kebahagiaan kita sendiri sama anak-anak kita nanti.”

Bibir Ami bergetar. Ia tidak tau lagi harus bagaimana. Mengikuti Arus adalah pilihan terbaik. Adakah orang yang selamat ketika dirinya melawan arus lautan tanpa melihat arah mata angin? Jawabannya tidak ada. Hanya ada dua pilihan, mengikuti arus dan arah mata angin lalu selamat, atau melawan arus itu sendiri namun akhirnya tenggelam di tengah lautan.

Irfan mengetuk pintu ruang kerja sang ayah, Budi. Ini bukan di kantor melainkan di rumah. ”Irfan mau ngomong pa,” seru Irfan. Budi pun berhenti sejenak membaca dokumen-dokumen itu. Ia menghampiri puteranya lalu duduk di sofa depan meja kerjanya.

Ares [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang