ARES 31

1.3K 91 16
                                    

Suasana di pasar ramai sekali. Tentu saja karna ini adalah pasar dan tempat bagi setiap orang untuk melakukan jual beli. Setelah membeli semua bahan-bahan untuk berjualan, Ares pun menggantung semua belanjaannya itu di setir kiri dan kanan sepedanya. Sebagian ada juga yang ia taruh di keranjang.

Seorang gadis yang tengah menyetir mobil itu pun tidak sengaja melihat Ares di parkiran jalan sana. Gadis itu pun menepikan mobilnya. “Lu mo ngapain, Ras?“ tanya Ulfa heran. Beberapa teman Laras yang lain juga menatap Laras heran. Untuk apa Laras berhenti di tempat kumuh seperti ini?, batin mereka.

“Gue mo turun dulu sebentar.“ ucap Laras. Ia pun turun dari mobil sebelum teman-temannya berceramah lebih panjang lagi. “Ares!“ seru Laras tersenyum lebar saat ia melihat sosok Ares. Hampir saja Ares ingin mengayuh sepeda. Huh, mengapa Laras ada disini? Lagi pula, mengapa Laras malah menyapa Ares?, batin Ares.

Mata Ulfa melebar saat ia melihat Laras bercengkerama dengan si miskin itu. Uh, Ulfa berlagak jijik sekali. Orang seperti Ares pasti bau. Huh, mau-maunya Laras berteman dengan orang seperti itu, batin Ulfa. “Kok Laras malah nyamperin tuh cowok kampungan sih, Fa? Ogah banget gue,“ celetuk Adhisti.

“Gue juga nggak tau Dhis. Gue udah peringatin si Laras. Tapi, dia nggak dengerin gue sama sekali.“ sahut Ulfa. “Kalo gue sih ogah deketin cowok model begituan mo dia ganteng selangit pun. Ntar ketularan miskin cuih.“ ucap Bela sarkasme.

Laras memang terlahir dari keluarga terpandang. Laras juga dibesarkan di keluarga yang memiliki tata krama yang baik. Sedari kecil Laras selalu diajarkan untuk berteman dengan siapapun. Jangan pernah membeda-bedakan siapapun. Banggalah kedua orang tua Laras, memiliki seorang puteri cantik yang bisa tahan banting, meskipun di kelilingi oleh teman-teman yang haus akan kasta dalam pertemanan. Bahkan, Laras sendiri mempertanyakan ketulusan mereka saat berteman dengan dirinya.

Laras antusias sekali saat ia bisa berdekatan dengan Ares seperti ini. “Lu ngapain kesini?“ tanya Ares seolah tanpa minat sama sekali. Ares memang tidak suka berbasa-basi. “Gue nggak sengaja liat lu disini. Jadi, gue nepi bentaran. Tuh mobil gue disitu.“ sahut Laras menunjuk pada mobil merah metalik itu.

“Mending lu pulang gih. Tar badan lu bau. Ini kan pasar, Ras?“ ucap Ares sarkasme. “Haha,“ Laras tertawa garing. Jujur saja Laras merasa kurang nyaman saat orang lain memandang Laras dengan pandangan yang dimana, orang kaya seperti Laras itu anti dengan yang namanya pasar tradisional dan makan makanan di pinggiran jalan. Laras juga berhak jalan- jalan kesini seperti orang lain pada umumnya, kan?

Laras paham. Kita tidak bisa membuat semua orang mengerti akan hal itu atau mengubah mindset setiap orang. Mungkin Ares juga sama berpikir seperti itu tentang dirinya. “Gue cuman mo nanya, hadiah gue kemaren gimana? Lu suka nggak?“ tanya Laras. Terkesan terlalu basa-basi memang. Hm, Laras juga sekalian mencoba menyembunyikan perasaan sedihnya itu.

“Duh, gimana nih?“ batin Ares. Jujur saja Ares sama sekali belum membuka hadiah yang diberikan oleh Laras. Hadiah itu bahkan masih tersimpan dengan rapi di lemari. Laras terlihat menunggu-nunggu jawaban Ares. “Ah, gu-gue suka kok, thanks yah.“ ucap Ares berbohong. Jangankan suka tau isinya saja tidak.

Laras langsung tersenyum lebar dengan kedua pipi merona. “Oh iya, lu buru-buru, kan? Duluan aja nggak papa,“ ucap Laras. Laras tau siapa dan apa kegiatan sehari-hari Ares. Melihat Ares yang ingin mengayuh sepeda saat Laras sapa tadi, sudah pasti Ares memang sangat-sangat terburu-buru.

“Kalo gitu gue duluan ya? Bye,“ ucap Ares tidak ingin berbasa-basi. Laras melambaikan tangan meskipun Ares tidak tau sama sekali. Ah, sebelum kembali ke mobil, lebih baik Laras membeli sesuatu dulu disini. Hm, beli apa ya?, batin Laras. Itu dia! Cireng!, gumam Laras.

Ares [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang