Di meja tempat ia duduk di kelas. Ares melamun. Saat ini di kepalanya ada dua anak lelaki bersamaan jenis dengan karakter berbeda pula. Bahkan Ares sampai tidak sadar, kalau kini satu tangannya mencoret-coret buku tulisnya.
“WOY!“ seru Ellie. “Kesambet lu?“
“Hah?“ gumam Ares. Lamunannya pun buyar seketika.
Ellie menunjukkan raut muka sebal. Ia heran melihat Ares tidak seperti biasanya. Jangan-jangan Ares kerasukan? Begitulah pikir Ellie. “Lu liat dah buku lu sendiri.“ ucap Ellie. Ares pun melirik satu halaman buku catatannya yang penuh dengan coretan pulpen yang acak-acakan.
“Kok lu gak bilang-bilang sih El?“
“Lah nih anak.. Udah dikasih tau malah protes. Dasar gak tau terima kasih.“
“Bukannya gitu El~ Sensian amat.“
“Lu yang sensian bambang.“
“Gue Ares bukan bambang.“
Ellie lebih memilih memutar badan menghadap ke depan. Meladeni Ares sama saja menguji emosi dalam dada. Tampan, berotot, tinggi, dan putih. Tapi, minus untuk sifat cool dan kepekaan. Ugh, dasar Ares. Kalau tidak tega akan ketampanan yang Ares miliki, mungkin Ellie akan melempari buku miliknya tepat di muka Ares.
Ares ngeri melihat satu halaman bukunya yang kini terlihat acak-acakan. Satu halaman catatan yang ia tulis dengan sepenuh hati dan jiwa. Harus hancur dalam sekejap. “Dasar.“ batin Ares.
Ia tatap jam di dinding. Ini masih pukul sembilan pagi sebelum jam pelajaran kedua masuk. Seperti biasa ia menyempatkan diri ke mushola sekolah untuk menunaikan salat dhuha. Katanya salat dhuha itu mampu melapangkan rezeki. Ia berharap dengan salat dhuha dua rakaat mampu membuat dagangannya laris manis dan berkah. “Aamiin.“ batin Ares.
Pintu mushola memang selalu terbuka, dan tidak pernah ditutup sama sekali. Beberapa siswi yang lewat nampak terkagum-kagum melihat Ares salat mengenakan peci. Terlihat khusyuk sekali. Oh tuhan, idaman sekali Ares ini, batin siswa-siswi itu.
Selesai menunaikan salat dhuha, ia pun berdiri, merapikan sajadah dan memasukkan peci miliknya ke dalam saku celana. “Udah do'a apa aja nih Res?“ celetuk salah seorang guru. Sebut saja nama beliau Pak Ben. Ares tersenyum sambil merasuk sendalnya. Ia pun menghampiri sang guru.
“Banyak pak hehe.“ sahut Ares berjalan beriringan bersama Pak Ben, guru untuk mata pelajaran olahraga.
“Oh iya Res..“
“Iya pak?“
“Bapak sering loh beli siomay kamu hehe.“
“Masa pak? Tapi kok saya nggak pernah liat bapak beli ya?“
“Ya iyalah Res.. Wong yang beli istri bapak hehe.“
"Oh~“
“Kalo bapak yang beli nggak sempet Res.. Soalnya jam terbang bapak tinggi banget ngalahin tugu monas wkwkwkwk.“
Di sekolah ini Pak Ben memang dikenal mudah akrab dengan murid manapun. Sifat mudah bergaul nya ini lah yang membuat Pak Ben menjadi salah satu guru favorit. Baik di antara siswa ataupun siswi. Tidak heran jikalau Ares tidak sekaku itu ketika berbicara dengan sang guru, karena sosok Pak Ben yang suka bercanda membuat stigma tentang guru killer di antara para murid mulai terkikis. Beginilah sosok guru yang pantang menyerah ketika mengajarkan murid-muridnya. Meskipun tidak semua murid mau mengikuti apa yang diajarkannya.
“Kamu ini bisa kerja nggak sih?!“ hardik Zada memaki-maki salah satu pembantu di rumahnya. Camilla bergidik ngeri nan jauh di ujung sana. Majikannya yang satu ini memang terkenal baik. Namun, kalau sedikit saja pembantunya berbuat kesalahan, meskipun hanya secuil saja, maka kemarahan Zada akan meledak-ledak seperti bom atom.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ares [BL]
Romance[TAMAT] Cerita ini ngambil latar belakang Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Seumpama cerita ini nggak sesuai dengan ekspektasi kalian-atau kalian nganggep cerita ini jelek, karna banyak typo, nama tokoh ketuker, dan banyak tokoh di mana-mana. Darip...