ARES 85

739 60 25
                                    

Setibanya ia di depan gedung PT. Buana Jaya, ia disuguhkan oleh pemandangan yang tak mengenakan hati. Rakha keluar bersama rekan sejawatnya. Kalau ia tidak salah ingat namanya ialah Tere. Tere terlihat begitu berbudi pekerti luhur. Begitulah pandangan Ares terhadap sosok Tere, tetapi entah mengapa Tere tak tampak seperti itu lagi di mata Ares. Sorot mata yang tak mengindahkan apa yang ia lakukan kepada Rakha membuat Ares jengah. Tere menyentuh pipinya yang menurutnya ada sedikit noda di sana. Buat apa Tere mengulurkan tangan hanya untuk mengusap pipi sang suami, Rakha?

“Sayang?“ seru Rakha.

Ares amat memperhatikan perubahan wajah Tere tatkala Rakha memanggilnya dengan sebutan sayang. Tere pun tersenyum tipis, meski senyumannya tak begitu merekah seperti saat sebelum Rakha bersuara demikian. Rakha pun refleks mengecup keningnya serta kedua pipinya. Tak perlu banyak bergapa; cukup lakukan hal-hal sederhana, namun terasa manis dan legit di hati.

“Ares?“ seru Rakha.

Ares tersipu malu yang terpancar sangat jelas dari kedua pipinya yang merona, bahkan ia sampai tak menyadari jikalau Rakha membantu memasangkan helm untuknya, sebab yang Ares tau hanyalah helm yang tiba-tiba telah terpasang begitu saja di kepalanya.

“Errr Kha? Res? Gue duluan, ya?“ celetuknya tiba-tiba.

Sejenak ia merasa jikalau dirinya berada di ufuk timur, sedangkan Ares dan Rakha berada di ufuk barat. Tere merasa jikalau dirinya tak dihiraukan hingga ia pun memutuskan untuk pamit lebih dulu, dan membiarkan pasangan suami istri itu bermesraan—pun membakar jiwanya yang juga mulai terbenam.

“Hati-hati, mba!“ ucap Rakha.

“Siap!“ sahut Tere.

Irama hati bergetar seirama. Di telinga tak terdengar di kedua mata terpancar berbinar-binar. Petuah lama berkata, mata takkan pernah berdusta. Tak banyak kata terucap oleh ia lisan tak berdaya. Ingatlah jikalau romantisme dalam cerita hanyalah penggalan fiksi yang ditulis oleh para pujangga. Ingatlah jikalau rumah tangga adalah sesuatu yang nyata. Terlalu tinggi angkasa sakit jua saat jatuh ke dasar samudera. Tak perlu banyak kata, sebab cukup tindakan nyata tuk mencintai, menyayangi, mengasihi, serta menjaga.

“Mas dikasih cuti berapa hari sama atasan mas?“ tanya Ares.

“Dua hari,“ sahut Rakha.

“Uhm, gitu,“ gumam Ares.

Satu hari lagi buah hati suaminya kan berulang tahun. Selama itu pula Rakha cuti dari pekerjaannya di PT. Buana Jaya, sebab ia berencana tuk menghabiskan waktunya bersama puteri tercintanya, Bella. Tinggal di negeri orang bersama mereka lang lebih sedia—pun membuat rindu dalam dadanya selebat daun-daun pohon trembesi. Rakha senang bukan main. Hal itu terlihat jelas dari bagaimana cara ia menggenggam tangan Ares di atas pahanya. Ares juga turut bahagia, meski tak dapat ia pungkiri jikalau dirinya juga memiliki sekelumit rasa cemburu di hati.

“Bisa-bisanya gue cemburu padahal dia masih bocah juga,“ batin Ares.

Ares tak mengindahkan rasa yang memang ada. Tap jua berbuat impulsif hanya jarna kecemburuannya yang buta. Bukankah dia adalah peri kecil yang dikirimkan oleh Tuhan semesta alam? Bukankah dia samaha hal seperti Bayan dan Icha? Ares pun mencoba mengenyahkan pikiran anehnya—yang mungkin kan berujung pada hatinya yang kesulitan tuk menerima Bella. Ares kembali bermonolog dalam hatinya. Bukankah itu artinya Bella adalah anak gue juga, karna gue ini istri Mas Rakha? Uh, isi kepalanya bak dipenuhi oleh serangga yang menggerayanginya.

Rakha tak sengaja melihat air muka sang istri yang tampak sendu lewat kaca spion. Entah hal apa yang mengganggu pikirannya sampai-sampai ia melamun seperti itu. Ah! Kebetulan di depan sana ada orang yang menjual es krim durian! Rakha pun menepi tatkala kuda besi yang ia tunggangi telah sampai di tujuan. “Lho? Kok turun di sini sih, mas?“ tanya Ares. Rakha pun menjitak dahinya. Ares mengaduh. “Ya, mapan es krim lah. Cepetan turun, sayang,“ sahut Rakha. Rakha sadar yang di mana mungkin perhatian yang ia berikan sangatlah minim serta komunikasi dua arah yang tak begitu lancar menjadi salah satu faktor sang istri yang mendadak terlihat tak bersemangat. Orang bilang istri itu pada dasarnya memang ingin selalu dimanja. Rakha sadar, bahwa di satu tahun pernikahan ini pun ia harus tetap terus membenahi dirinya lagi dan lagi setiap harinya. Tak ada jaminan apa yang diperbuat dan dikatakan oleh seorang suami sebagai kepala rumah tangga itu selalu benar. Demi apa pun tak ada.

Ares [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang