Berlian itu mahal—pun sulit dicari. Pernah dengar berlian murah? Sudah pasti itu palsu atau imitasi. Sang berlian berdiri di atas podium. Ia berdiri tegap di antara barisan para murid pada upacara hari senin. Ia merasa sangat terhormat, karna telah diberi kepercayaan untuk memimpin upacara hari ini. Sementara di belakang sana—pun masih banyak para guru serta staff lain yang lebih ber-ilmu dibanding diri ia. Dinda tertegun melihat sang berlian nampak ber-sinar. Lebih terang dari rembulan dan mentari.
“Siapapun pasti pernah berada dalam sebuah ruang—yang di mana di ruang itu dipenuhi oleh berbagai masalah. Sebagian orang bilang: aku capek, aku depresi, aku bosen, aku muak, dan lain-lain. Bisa jadi karna berantem dengan orang tua, sahabat, atau kerabat. Inget satu hal. Belajar lah menerima dengan ikhlas keadaan kita saat ini. Oh, mau ngamuk? Minum-minum? Demi apapun ketika kalian menumpahkan segala sesuatu pada hal-hal negatif; kalian nggak akan pernah bisa dapetin kebahagiaan yang kalian mau.“
“Ibarat pengen se-gelas susu, tapi malah kalian campur sama kopi? Langsung item. Trus, kalian ngarep lagi se-gelas susu ber-campur kopi tadi jadi susu murni lagi? Nggak, nggak bakalan bisa. Jadi, terima keadaan kalian saat ini dengan ikhlas, sabar, sadar, dan sehat.“
Seluruh para guru memuji pidato ia barusan. Ares merasa tidak pantas mendapat pujian-pujian tersebut. Sungguh ia merasa masih perlu banyak belajar. “Ares? Tolong nanti ke ruangan ibu sebentar, ya?“ ucap Bu Tuti. “Baik, bu,“ sahut Ares. Di ruangan Bu Tuti; Ares duduk dengan tegap. Semua murid pasti akan merasa gugup tatkala ber-hadapan dengan guru sendiri. Ares termasuk dalam jajaran murid ber-prestasi. Bu Tuti sangat mengapresiasi hal itu. “Denger-denger kamu nikah se-jenis, ya?“ cetus Bu Tuti.
Ares termangu. Dari mana Bu Tuti mengetahui soal ini? Ia cemas, dan benar-benar cemas—pun air muka ia mendadak pias. Bagaimana jikalau ia dikeluarkan dari sekolah ini? “Siapa lagi? Pak Budi lah!“ sahut Bu Tuti. “Udah, nggak usah tegang-tegang gitu. Biarin itu jadi urusan pribadi kamu. Nggak usah diumbar-umbar, ok? Kalopun orang-orang pada tau, biarin lah mereka tau sendiri, bukan karna kamu yang suka posting ini itu,“ ucap Bu Tuti menasihati. Dunia memang sudah terbalik, batin Bu Tuti, tetapi bukan berarti beliau menghina—apalagi sampai menghakimi orang-orang seperti Budi dan Ares.
Di bumi tiada sesiapa pun dengan label sempurna. Se-sempurna apapun seseorang di mata orang lain—pun pasti ada jua kekurangannya. “Ares!“ seru Dinda sesaat setelah Pares keluar dari kantor. Saat ini; Ares sedang mengenakan peci. Itu membuat ia terlihat semakin mempesona di mata Dinda. Dinda begitu sumringah melihat Ares di hadapan ia begini. Sungguh hati ia ber-bunga-bunga bagai bunga di musim semi; bermekaran dengan indah, dan penuh warna. “Din,“ gumam Ares. Dinda dan Ares pun berjalan berdua beriringan sambil mengobrol.
“Lu keren banget pas upacara tadi! Gue lagi ngebayangin lu jadi anggota dewan ato motivator gitu. Pasti keren banget!“ ucap Dinda memuji.
“Duh, bisa gede baju gue, Din, dipuji mulu ama lu,“ sahut Ares.
Ares bagai sebuah magnet. Ia mampu membuat orang tertarik pada ia dengan mudah. Paras ia berseri-seri. Orang bilang, sebab ia begitu taat ber-ibadah. Jujur, memandang ia saja begitu menyejukkan hati sebagian besar gadis-gadis di sini—pun teman-teman se-sama jenis ia yang lain. Bulu mata ia lentik seolah seperti sedang mengenakan bulu mata palsu saja. Dinda benar-benar jatuh cinta. “Eh, lu ntar ikutan liburan semester-an, nggak? Bentar lagi UTS, kan?“ tanya Dinda.
“Gue belum bisa mastiin, Din. Liat sikon dulu ntar, mana gue ngurus warung, trus ngurus rumah. Pokoknya gue ribet banget dah,“ sahut Ares.
Ares tidak secara gamblang mengatakan jikalau ia telah ber-suami. Itu adalah alasan utama; ia tidak bisa memastikan; apakah ia bisa ikut liburan atau tidak. Ia bukan lagi seroang bujangan; mau ke mana saja tiada masalah berarti, tetapi posisi ia saat ini ialah telah ada Rakha, sang suami—yang harus ia beri perhatian lebih dibanding liburan bersama teman-teman. Hm, diijinin sama Mas Rakha ato nggak, ya? Pengen ikutan, sih, batin Ares. Dinda dibuat terpana oleh ia berlian. Sungguh kilauan berlian itu membuat ia tidak berhenti tuk terus memandang—pun membuat iri sebagian besar para gadis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ares [BL]
Romance[TAMAT] Cerita ini ngambil latar belakang Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Seumpama cerita ini nggak sesuai dengan ekspektasi kalian-atau kalian nganggep cerita ini jelek, karna banyak typo, nama tokoh ketuker, dan banyak tokoh di mana-mana. Darip...