ARES 55

826 55 2
                                    

Di sebuah ruangan kosong, kedap suara, dan tak berventelasi. Seluruh ruangan itu bernuansa serba putih. Cuma ada satu tempat tidur saja, dan kamar mandi. Pun televisi tiada jua di sana. Seorang perempuan duduk di lantai sambil memeluk kedua lututnya. Penampilannya begitu lusuh, dan tidak terawat. Dia histeris sambil mengacak-acak rambutnya. Terkadang dia mengeluarkan sumpah serapah, tertawa, dan menangis tiba-tiba. Siapapun akan iba melihat kondisi perempuan itu.

Dia hidup sendiri di ruangan ini selama lebih dari enam bulan—tanpa mengetahui bagaimana keadaan dunia luar. Dulu dia nampak seksi dan cantik jelita. Tapi, kini ia sudah tak berupa. Sangat kurus hingga tulang-tulang di tubuhnya begitu terasa saat disentuh. “AMI BRENGSEEEKKKKK AAARRRGGGHHHHH!!!“ teriaknya histeris sambil menangis. Betapa kejam dan tidak berperikemanusiaan sekali si Ami itu. Suatu saat Ami pasti akan menerima semua balasan dari perbuatannya sendiri. Sampai saat itu tiba, Astrid tidak akan pernah membuka pintu maaf sedikit pun.

“Nyonya, saat ini keadaan Astrid sudah makin parah,“ ucap Mr. X. “Gitu, ya? Bagus, deh. Kamu awasin aja terus—“ sahut Ami di telepon, namun tiba-tiba ia berhenti bicara dan menoleh ke ambang pintu dengan gugup. “Ami?“ panggil Irfan. Ami pun langsung memutuskan sambungan telepon. “Lagi telponan sama siapa?“ tanya Irfan sama sekali tidak curiga. Ami pun tersenyum. “Lagi telponan sama temen, mau makan di luar bareng,“ sahut Ami.

Irfan pun tersenyum sembari melangkahkan kaki menghampiri Ami. Ia pun duduk di samping Ami. Sungguh Ami terlihat sangat cantik mengenakan dress berwarna tan. Itu sangat kontras dengan kulit putihnya—apalagi rambut pendek seleher yang sisi kiri dan kanannya ia ikat ke belakang. Ia usap pipi Ami dengan lembut. Ami mampu merasakan kasih sayang Irfan—yang begitu besar kepada dirinya. Tapi, Ami sama sekali tidak merasakan getaran-getaran cinta itu.

Ami dan Irfan saling bertatapan satu sama lain. “Kamu nggak lupa, kan? Hari ini kamu musti periksa kandungan?“ ucap Irfan. Ami pun tersenyum sambil menggenggam tangan Irfan. “Inget kok, Fan,“ ucap Ami. “Aku bantuin siap-siap,“ ucap Irfan. Lalu, ia pun membuka kursi roda yang masih terlipat itu, dan membantu Ami berdiri untuk duduk di sana. Ini bukan karna Ami pincang gara-gara keseleo atau apapun. Ini murni karna Ami tidak boleh terlalu banyak gerak. Ya, dia lemah kandungan.

Ami dan Irfan pun berpamitan dengan Diomira dan Dzafina. “Jangan ngebut, Fan,“ ucap Diomira ikut mengantar keduanya ke depan sana. “Ami.. Jangan lupa bilang sama dokternya buat minta vitamin segala macem, ya?“ ucap Diomira perhatian. “Iya, ma,“ sahut Ami tersenyum. Setelah mobil yang dinaiki Ami dan Irfan melesat jauh. Diomira dan Dzafina pun saling bertatapan. “Dza, kapan sih kita nggak perlu repot-repot lagi buat pura-pura kalo kita itu baik-baik aja di depan, Ami? Mama capek loh, Dza? Tapi, di sisi lain mama juga kasian. Kamu tau, kan? Hubungan ortu dia juga lagi nggak bagus,“ ucap Diomira.

Dzafina pun menghela nafas. “Ma, kita tunggu kabar dari Mas Darren dulu,“ ucap Dzafina. Dalam hati Dzafina juga merasa kasihan dengan Ami. Tapi, di sisi lain ia juga geram, dan bagaimana pun Ami tetaplah bersalah. Dia sudah melakukan tindak kriminal di belakang keluarga besar Sangadji. Perempuan seperti bunglon itu entah kapan bisa menusuk anggota keluarga yang lain dari belakang.

Saat Ami dan Irfan masuk ke dalam ruang pemeriksaan; Irfan permisi sebentar; kebetulan ada telepon penting dari perusahaan. “Aku keluar dulu bentar, ya?“ ucap Irfan. Ami pun menganggukkan kepala. Ami sangat antusias saat kandungannya diperiksa, namun seketika senyuman sumringah itu pun memudar, tatkala ia melihat ekspresi yang kurang mengenakan dari sang dokter.

“Kenapa dok?“ tanya Ami gugup. “Mohon maaf, Bu Ami,“ ucap dokter itu. “Ke-kenapa dok?“ tanya Ami. “Janin di dalam kandungan ibu, kemungkinan akan lahir cacat, bu,“ sahut dokter itu. Oh tuhan, cobaan apa lagi ini? Bagaimana bisa aku mengandung janin yang cacat? Padahal tidak ada satu pun dari anggota keluarga ku punya keturunan cacat. Tapi, tapi mengapa aku malah mengandung janin yang cacat?, batin Ami termenung.

Ares [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang