Deon malah jadi canggung. “Uhm,“ gumam Deon seperti ada sesuatu—yang ingin ia bicarakan. “Tunggu saya dua minggu lagi, baru kita bicara lagi, Deon. Tenang aja, kalo saya nggak sibuk, saya bakalan video call,“ ucap Edgar seolah tau akan hal itu. Dua minggu? Mood Deon mendadak jadi jelek setelah mendengar kata-kata Edgar. Uh, kenapa aku nggak bisa ngontrol mood aku, sih? Nih orang kok bisa ngerusak mood gue juga?, batin Deon bingung.
“Sabar, dua minggu nggak kerasa kok,“ ucap Edgar mengusap pipi Deon sebentar, lalu mengecup pucuk kepalanya sayang. “Selama saya nggak ada, kamu jangan nakal, ya? Inget, saya punya mata-mata,“ ucap Edgar tegas dan mengintimidasi. “Hm,“ sahut Deon malas. Deon tidak mau memperpanjang hal-hal spele seperti ini. Tinggal iyain aja beres, kan?
Beberapa saat kemudian. Edgar pun chek-in. Hati ini tiba-tiba terasa berat saat punggung Edgar mulai menghilang dari pandangan Deon. Nggak nggak nggak, batin Deon geleng-geleng kepala. Deon pun memutuskan untuk kembali pulang ke rumah saja. Jalan-jalan bentar aja kali, ya? Hm, udah lama nggak refreshing nih hehehe, batin Deon lagi. Deon mengendarai mobil dari Bandara menuju Caramello (baca: kafe) di Jl. Catur Warga selama kurang lebih 47 menit.
Tiba di Caramello. Deon pun langsung memesan makanan seperti: BBQ, tuna mentai, dan ice latte. Dan ia pun duduk di area outdoor tanpa atap. Kebetulan perut Deon sudah keroncongan minta diisi. Tring tring tring. Hp Deon pun berdering. “Kamu lagi janjian sama siapa?“ tulis Edgar posesif di ruang chat bersamaan dengan lampiran foto-foto Deon—yang sedang nongkrong di sini. Sejurus kemudian Deon pun menoleh ke kiri, kanan, depan, dan belakang. Kok bisa Edgar tau aku ada di sini? Foto-fotonya asli pula? “Kenapa nggak bales? Baru saya tinggal sebentar doang kamu udah nakal, Deon?“ tulis Edgar lagi, saat ia belum mendapat balasan apapun dari Deon.
“Kamu beneran ngirim mata-mata?“
“Emang beneran, trus kenapa? Mau protes?“
Huft, Deon pun menghela nafas. Pun pesanannya akhirnya datang jua. “Tampi asih mba,“ ucap Deon. “Pade pade mas,“ sahut si waiters. “Deon? Kenapa nggak bales?“ tulis Edgar lagi. Berniat ingin makan tenang sendiri. Edgar malah mengganggu ketenangan itu. “Nggak ada janjian sama siapa-siapa. Lagi laper aja, jadi ke sini langsung sendirian abis dari Bandara,“ sahut Deon sambil menyantap tuna mentai. Edgar yang saat ini berada di dalam pesawat pun menghembuskan nafas lega. Mata-mata Edgar juga telah memastikan, jikalau Deon memang benar sedang makan sendiri, tanpa ada janji temu dengan siapapun. “Yon? Makan di sini lu? Wah, parah lu nggak ngajak-ngajak gue,“ seru Fany—yang datang entah dari mana. Deon pun tercengang.
“Mas~ Bosen~“ seru Ares manja sambil rebahan tengkurap di atas sofa. Sedangkan Rakha duduk lesehan di lantai—atas karpet bulu abu tua. Rakha tengah mengerjakan proyek baru kantor sambil minum es teh buatan Ares. “Mas! Mas~“ seru Ares lagi malah jadi uring-uringan. “Hm? Kenapa sayang???? Mas kamu lagi sibuk ini,“ sahut Rakha sambil ketak-ketik di laptop, dan melihat berkas-berkas—yang berserakan di atas, dan bawah meja.
“Jalan-jalan yuk, mas?“
“Mau jalan-jalan ke mana? Di luar aja lagi panas banget gitu, mending di rumah aja ngadem, kan ad AC?“
“Perasaan nggak panas-panas banget, deh?“
“Coba aja kamu bejemur 5 menit pake helm depan rumah sana. Tes, beneran panas banget ato nggak?“
“Iihhh apaan coba,“
“Nah? Nggak mau, kan? Kita go food aja gimana? Daripada bengong kek gitu,“
“Kan lagi mikirin kamu mas? Hehehe,“ goda Ares sambil tersenyum lebar. “Dasar deh, mentang-mentang ada maunya aja,“ ucap Rakha sebal. Si Ares ini kalau sudah ada maunya pasti manjanya minta ampun. Ares pun terus berusaha membujuk Rakha sampai Rakha mengiyakan permintaannya. Tapi, apa? Rakha tetap saja mengindahkannya dengan alasan kesibukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ares [BL]
Romance[TAMAT] Cerita ini ngambil latar belakang Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Seumpama cerita ini nggak sesuai dengan ekspektasi kalian-atau kalian nganggep cerita ini jelek, karna banyak typo, nama tokoh ketuker, dan banyak tokoh di mana-mana. Darip...