Irfan bersantai di teras samping sambil memantau jalannya perusahaan dari beberapa laporan—yang dikirim oleh Prima. Tiba-tiba hp Irfan berdering, dan itu dari Prima. “Heh, adek bangsat lu! Cepetan pulang! Gue capek ngurusin kantor lu! Gue jadi nggak bisa liburan ama bini gue!“ ucap Prima protes dari seberang sana. Dia duduk di kursi kantor sambil memijit pelipis—yang sama sekali tidak berdenyut. Setelah menjauhkan hp dari telinga beberapa saat; Irfan pun kembali menempelkan nya di telinga. “Sabar bang~ Dua bulan lagi gue balik kok,“ sahut Irfan.
“BANGSAT!“ ucap Prima berteriak, dan sambungan telepon pun terputus secara sepihak. Huft, Irfan menghela nafas sambil geleng-geleng kepala. Beberapa saat kemudian. Ia melihat mobil Darren tiba, dan parkir di halaman rumah. Sorot mata Irfan tidak lepas tuk memandangi mobil Darren dari kejauhan. Ia melihat Darren turun dari mobil sambil menenteng tas kerja—juga terlihat Jayden langsung berhambur di pelukan Darren. Setau Irfan; seorang istri akan menunggu dan menyambut suaminya di depan pintu tiap pulang kerja. Tapi, haruskan Irfan melakukan hal itu juga?
Irfan pun kembali membaca laporan di laptop sambil mendengarkan musik. Cup. Irfan pun langsung menoleh. Ia terkejut; saat seseorang tiba-tiba m e n c i u m pucuk kepalanya. Dan ternyata dia adalah Darren. “Mas?“ gumam Irfan. “Kamu nggak ganti baju dulu? Kenapa malah langsung ke sini?“ tanya Irfan. Darren pun menatap Irfan, lalu duduk di samping. “Kenapa? Nggak suka?“ ucap Darren sarkasme. “Uhm, bukan bukannya nggak suka—“ sahut Irfan langsung dipotong oleh Darren.
“Jadi, kamu suka?“ ucap Darren sambil menaikturunkan kedua alisnya. Irfan jadi salah tingkah. Ia memilih diam daripada salah bicara. “Wajar kalo suami pulang kerja, yang pertama dicari itu istri,“ ucap Darren kemudian; mendadak membuat Irfan jadi deg-degan. “Maaf,“ ucap Irfan meminta maaf. Ia berpikir, bahwa Darren sedang marah, karna dirinya tidak menyambut Darren di depan pintu. Darren terus menatap Irfan. Darren merasa bahwa Irfan seperti sedang menghindari tatapan matanya.
“Irfan, gimana rasanya malam p e r t a m a kemaren?“ tanya Darren. Irfan langsung mendelik tajam. Huh, apa-apaan, sih? Darren nanya begituan?, batin Irfan. Gara-gara Darren; Irfan jadi teringat akan malam itu. Ia ingat bagaimana dirinya membuka kedua kakinya lebar-lebar, lalu ditekuk. Saat itu lah si jagoan dengan mudah masuk ke dalam lubang ajaib. “Mas, bisa nggak? Jangan dibahas lagi?“ ucap Irtan terlihat sangat sebal. Lihatlah bagaimana dahi Irfan sampai berkerut seperti itu. “Hahahaha,“ Darren pun tertawa lepas.
Irfan heran, kenapa Darren malah tertawa. “Kamu lucu kalo lagi malu-malu gitu. Pipi kamu merah sayang. Hahahaha,“ ucap Darren kembali tertawa. Huft, sabar juga ada batas. Irfan pun berdiri sambil berkacak pinggang di hadapan Darren. Lah? Ngapain aku pose kek gini sih di depan Darren? Mau ngapain coba?, batin Irfan mendadak bingung. Sejurus kemudian. Darren pun meraih pergelangan tangan Irfan, hingga membuat Irfan jatuh dalam pelukan Darren. “Kamu bisa masak nggak? Hm?“ tanya Darren menatap Irfan dengan tatapan teduh sembari memainkan jari-jemarinya di rambut Irfan.
Irfan mampu melihat kedua mata Darren—yang kebiru-biruan itu dengan sangat jelas. Hidung dan bibir. Eh? Kok aku malah liatin hidung sama bibir dia, sih?, batin Irfan. “Nggak,“ sahut Irfan. “Bisa tolong masakin sesuatu buat mas?“ ucap Darren menahan pinggul Irfan. “Kan aku udah bilang, aku nggak bisa masak,“ sahut Irfan. “Kamu tinggal googling aja. Trus ikutin resepnya. Terserah kamu mau bikin apa,“ ucap Darren. Entah mengapa Darren tidak bisa lepas tuk menatap Irfan, tepat di kedua matanya. “Nanti malem siap-siap, ya?“ ucap Darren ambigu.
“Siap-siap apa?“
“Nanti kamu tau sendiri,“
Temaram lampu di ruangan kamar ini diiringi suara lenguhan tanpa henti; membuat suasana dingin terasa jadi sangat panas. Bahkan AC saja kalah saking panasnya. Lagi-lagi Irfan tidak bisa berontak; saat Darren begitu mendominasi. Tubuh Irfan seolah tidak lagi mampu untuk diajak berkompromi. “Nghh,“ gumam Irfan saat bagian kepala baru masuk sedikit. Darren pun mencoba mendorong lebih kuat lagi. Irfan cuma bisa meremas sprai demi menahan rasa perih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ares [BL]
عاطفية[TAMAT] Cerita ini ngambil latar belakang Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Seumpama cerita ini nggak sesuai dengan ekspektasi kalian-atau kalian nganggep cerita ini jelek, karna banyak typo, nama tokoh ketuker, dan banyak tokoh di mana-mana. Darip...