ARES 30

1.6K 105 12
                                    

Ponsel Irfan terus-menerus berdering membuat Irfan jengah. Irfan pun langsung menonaktifkan ponselnya dan melemparnya ke sembarang arah. Irfan bukan tidak tau siapa si penelepon itu. “Brengsek,“ batin Irfan emosi. Orang itu benar-benar sudah tidak tau malu.

Seseorang mendobrak pintu ruangan Irfan. Dan tampak lah seorang wanita dengan dress pure white pun masuk ke dalam dengan raut muka berang bukan main. “Siapa cewek itu, hah?“ cetus nya ketus. Kedua alis Irfan langsung berkerut saat gadis itu dengan tidak sopannya masuk ke ruangannya. Bahkan berbicara ketus seperti orang yang tidak dididik sama sekali.

“Bukan urusan kamu, Astrid.“ sahut Irfan. Irfan mencoba untuk menahan diri meskipun ia sudah cukup emosi. “Kamu jahat Irfan.“ ucap Astrid. “Heh,“ Irfan mendengus. “Jahat?“ seru Irfan lalu ia pun berdiri. “Coba bilang, aku jahatnya dimana?“ ucap Irfan sarkasme.

Astrid pun diam. Irfan langsung mencengkeram dagu Astrid. Astrid harus diberi pelajaran. “Kamu yang jahat Astrid. Dasar murahan.“ ucap Irfan dingin lalu melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Hingga Astrid pun mengaduh. “Kamu lebih milih dia, kan? Kenapa? Dia ninggalin kamu? Heh.“

“Aku yang ninggalin dia.“ sahut Astrid. Astrid sadar pria itu tidak cukup baik untuk dirinya. Hah, demi nafsu sesaat, Astrid rela meninggalkan pria sebaik Irfan. Biarkan harga diri ini turun sedikit. Astrid tidak rela jika ada wanita lain ada di hati Irfan. Astrid mau dia seorang sajalah yang ada di hati Irfan.

“Keluar.“ ucap Irfan dingin. “Nggak,“ sahut Astrid kekeh tidak ingin keluar. “KELUAR!!!“ kali ini Irfan melotot tajam. “Jangan sampe aku kasar kamu, Astrid.“ ucap Irfan mengancam. Hah, dasar murahan, kekeh juga si murahan ini?, batin Irfan. Irfan pun menarik pergelangan tangan Astrid dengan kasar dan mendorongnya keluar.

Irfan terkejut saat ia melihat kedatangan Ami dan Dzafina, yang dimana Dzafina membantu mendorong kursi roda Ami. Ami sempat terkejut saat dirinya melihat Irfan menarik tangan wanita itu dengan kasar. “Ami?“ seru Irfan. Oh tuhan, semoga Ami tidak berpikiran macam-macam. “Kenapa lagi dia dateng kesini, Fan?“ tanya Dzafina tidak suka.

“Oh? Jadi, cewek cacat ini calon istri kamu, Fan? Heh, hahahahaha, standar kamu rendah banget ya Fan sekarang?“ ucap Astrid. Plaaaaak. Irfan pun menampar Astrid dengan keras. Sungguh Irfan tidak rela siapapun menghina-hina Ami. “Kamu nggak pantes hina calon istri aku kek gitu, Astrid. Pergi. Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi.“

“Satpam,“ Dzafina berteriak memanggil satpam. “Tolong keluarin cewek uler itu, pak.“ ucap Dzafina. Astrid pun diseret oleh satpam itu sampai-sampai semua sumpah serapah pun keluar dari bibir Astrid. Irfan sungguh tidak habis pikir. Sampai-sampai Irfan geleng-geleng kepala dan menghembuskan nafas berat.

Irfan mengecup pucuk kepala Ami sambil mengusap pipinya lembut, lalu berjongkok di hadapan Ami sambil memegang satu tangan Ami dan satunya lagi memegang sisi kursi roda yang Ami duduki. “Maafin aku udah bikin kamu kaget.“ ucap Irfan tulus dan lembah lembut. Ami diam saja tanpa berkata apa-apa. “Ami biar sama aku aja kak. Kakak pulang aja nggak papa. Aku mau bawa Ami ke rooftop.“ ucap Irfan.

“Hati-hati ya Fan? Telepon kakak kalo ada apa-apa.“

“Iya kak,“

“Ya udah.. Ami, kakak pamit dulu ya? Fan kakak pulang dulu, assalamu'alaikum.“

“Wa'alaikumussalam.“

Irfan dikenal ramah di kantor. Irfan tidak akan segan-segan menyapa siapapun yang berpapasan dengan dirinya. Bahkan, seorang satpam dan OB sekalipun. Menurut Irfan semua orang harus diperlakukan sama. Yang membedakan hanyalah amal ibadahnya saja. Dan itu bukan urusan Irfan melainkan urusan mereka dengan tuhan.

Ares [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang