ARES 63

805 54 2
                                    

Suasana hati Rakha sore ini begitu sangat bagus. Dia bahkan membelikan Ares makanan dan pakaian baru, dan setangkai bunga? Hm, biarin aja lah, salah bunganya juga kenapa bisa warna lilac unyu kek gitu haha, batin Rakha. Tiba di rumah sendiri—pun Rakha langsung turun dari motor. “Dek! Ares! Sayang! Istri mas ganteng!“ seru Rakha berteriak dengan semangat. “Iya iya,“ sahut Ares dari dapur. Ares pun menghampiri Rakha di ruang depan; dengan posisi masih memakai celemek. “Nggak usah teriak-teriak juga kali, mas? Toh aku bisa denger kok,“ ucap Ares sebal.

“Ini ada baju baru buat kamu sama makanan buat kita makan juga,“ ucap Rakha sembari memberikan bungkusan plastik berisi makanan dan paper bag berisi beberapa pakaian baru. Ares terheran-heran. Tumben Mas Rakha belanja banyak kek gini?, batin Ares. “Eh? Ini bunga apaan mas? Buat apa?“ tanya Ares. Di dalam paper bag itu, terselip beberapa tangkai bunga berwarna keungu-unguan. “Itu bunga lavender. Katanya bagus buat kesehatan,“ sahut Rakha. “Oh, satu lagi,“ ucap Rakha sembari mengeluarkan map coklat dari dalam tas, lalu memberikannya kepada Ares.

“Ini map isinya bukti-bukti siapa pelaku yang udah ngechat mas nggak jelas,“ ucap Rakha. “Oh? Gitu?“ sahut Ares biasa-biasa saja. Rakha pun mengerutkan alisnya. Ia heran. Kenapa Ares terlihat biasa-biasa saja? Padahal kemaren-kemaren dia kek marah banget sama aku deh?, batin Rakha. “Kok reaksi kamu oh doang, sih? Ini bukti kalo mas nggak maen sama cewek lain, lho?“ ucap Rakha. “Trus aku musti gimana dong? Kan emang kamu nggak salah, mas?“ ucap Ares sembari membawa belanjaan Rakha ke dapur—pun diikuti oleh Rakha.

Eh? Semudah itukah Ares mempercayai dirinya? Hm, dia tau dari mana, ya? Kalo itu bukan aku?, batin Rakha. “Kamu tau dari mana kalo itu bukan mas? Kan mas belum buktiin apa-apa?“ cerca Rakha. Ares pun menatap Rakha diiringi helaan nafas berat. “Dari kemaren aku coba mikir keras, mas. Kalo seandainya itu beneran kamu, otomatis kamu sengaja telat pulang kerja, sering maen hp, telponan diem-diem, dan hal-hal lain yang nggak wajar. Tapi, apa? Kamu aja pulang kerja awal banget? Alesannya kangen lah cemas lah ini lah itu lah, dah di rumah pun kamu nempel mulu sama aku kek permen karet, mana kamu jarang pegang hp, kan? Berarti ya kamu nggak macem-macem samsek di belakang aku,“ ucap Ares panjang lebar.

Rakha cengo. Dua puluh juta ku melayang, batin Rakha penuh sesal. Ugh, jangan ampe istri ku tercinta tau, bisa-bisa nggak dikasih jatah, batin Rakha. “Mas? Kenapa? Kok bengong? Mandi dulu sana, biar makan bareng sama ibu sama bapak,“ ucap Ares. “Nggak kenapa-napa kok sayang. Kalo gitu mas mandi dulu, ya?“ sahut Rakha. Baru beberapa langkah ia melangkah. Ares pun bersuara. “Mas? Jangan lupa, abis mandi kamar mandi langsung disikat, ya? Kalo nanti pas aku periksa kamar mandinya belum kamu sikat, nggak wangi, dan masih licin, awas aja mas,“ ucap Ares memperingatkan. Entah ini memang nasihat atau sebuah ultimatum mematikan, batin Rakha. Lihat, lihat tatapan membunuh Ares itu, batin Rakha.

Hujan deras tengah mengguyur kota kabut—yang di mana di kota itu sering kali berkabut, hingga membuat Golden Gate Bridge tidak terlihat, karna tertutup oleh kabut tebal. Dialah San Fransisco. Dua minggu sudah Irfan tinggal di kota ini. Selama itu pula ia telah memikirkan banyak hal, termasuk masa depan sangat putera, Defran. Irfan bersumpah, tidak akan membiarkan Defran disentuh oleh Ami barang sedikit pun. Suasana dingin di malam hari; terlebih saat hujan tiba; benar-benar dingin sampai terasa menusuk tulang. Darren pun datang sembari memasangkan jaket di punggung Irfan, demi mengurangi rasa dingin.

Secangkir teh hangat tanpa gula. Uh, ini saja sudah sangat nikmat sekali. Baru saja Darren duduk di kursi di dapur—pun berhadapan langsung dengan pintu, dan jendela besar. Darren mendengar Irfan mengatakan kata-kata manis dan romantis? “Thank you for making every miracle possible for me, Om Darren,“ ucap Irfan. Darren pun tersenyum setelah mendengar Irfan berkata seperti itu. “Kamu bikin om salah paham, Irfan,“ ucap Darren. Irfan dan Darren pun saling bertatapan satu sama lain. Sempat hening sesaat. Sebelum pada akhirnya Irfan pun bersuara. “Salah paham? Salah paham apa?“ tanya Irfan.

Ares [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang