ARES 61

811 57 0
                                    

Ares meminta izin kepada Fadhli dan Sarmini untuk pergi mengunjungi rumah ayah dan ibunya. Beruntung tempat tinggal kedua orang tuanya tidak jauh dari sini. Pun jalan kaki saja sudah bisa sampai ke sana. Saat sudah sampai di depan rumah. Barulah Ares ingat; jikalau dirinya tidak membawa buah tangan dalam bentuk apapun. Kok bisa kelupaan, sih?, batin Ares. “Kak Ares!“ seru Bayan tersenyum lebar menyambut kedatangan Ares. Bayan langsung memeluk kaki Ares—pun Ares langsung menggendong Bayan.

“Inak leq mbe?—Mama di mana?“ tanya Ares. “Leq to—Di sana,“ sahut Bayan menunjuk ke arah samping rumah. Camilla sedang menyiram tanaman dengan telaten. Lalu, Ares pun menghampiri, dan mencium tangan Camilla setelah ia mengucapkan salam. Ares memang tersenyum. Tapi, entah mengapa, Camilla merasa seperti terdapat secercah kepedihan di balik senyuman Ares itu. Lagi dia ke sini tanpa memberi kabar terlebih dahulu. “Ares? Kamu nggak papa kan, nak?“ tanya Camilla. Sepertinya Camilla menyadari sesuatu, batin Ares.

Ares pun menurunkan Bayan. “Nggak ada, inak. Aku cuman lagi pengen jalan-jalan aja,“ sahut Ares. “Sini ngobrol sama inak,“ ucap Camilla meminta Ares untuk duduk bersama. Sebagai orang tua—yang telah membesarkan Ares selama 17 tahun. Tentu saja Camilla tau isi hati Ares, cuma dari tatapan matanya saja. Seorang ibu memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap anak-anaknya sendiri. Biar pun secuil, seorang ibu juga akan merasakan kepedihan yang sangat anak rasa.

“Kamu lagi ada masalah sama Nak Rakha?“ cetus Camilla tepat sasaran. Hah, kalau sudah di hadapan inak, aku beneran nggak bisa nyembunyiin apa-apa, batin Ares. Ares pun menoleh, dan berusaha untuk tersenyum. Namun, senyuman yang ia ukir, malah membuat dirinya ingin menitikkan air mata. Sial!, batin Ares. “Kamu nggak harus cerita sama inak, Ares. Karna urusan rumah tangga itu cukup antara kamu sama Rakha aja. Jangan ampe orang luar tau masalah kalian, Ares. Inget kata-kata inak,“ ucap Camilla menasihati.

“Maafin aku inak,“ ucap Ares menunduk. Ia tidak berani menatap Camilla. Bisa-bisa ia benaran menangis. “Pernikahan kamu sama Rakha itu belum ada apa-apa nya sama inak dan amak, Ares. Ujian pernikahan yang kamu hadapin sekarang, itu baru seujung kuku aja. Tunggu satu dua tiga empat tahun kemudian. Pasti bakalan lebih kompleks lagi,“ ucap Camilla. “Tapi, inak.. Mas Rakha udah bikin aku kecewa,“ ucap Ares. Camilla tersenyum. Hal itu pun membuat Ares bertanya-tanya. Kenapa Camilla malah tersenyum?

“Dengerin inak baik-baik. Sebelum kamu kecewa berat sama Rakha. Coba deh kamu inget-inget lagi baiknya dia apa aja ke kamu dan keluarga kita? Kamu inget nggak? Dulu pas Bayan sakit? Kalo nggak Rakha yang nolongin siapa lagi? Liat usaha siomay kamu makin maju, usaha taneman inak makin maju, semuanya karna siapa? Karna kamu, inak, ato Rakha?“ ucap Camilla. Benar. Rakha tidak cuma menjadi seorang suami. Tapi, dia juga benar-benar berjasa dalam hidup Ares. “Mas Rakha, inak,“ sahut Ares. Camilla pun tersenyum sembari menggenggam tangan Ares.

“Satu hal yang harus kamu tau. Kalau kamu menafsirkan pernikahan itu sama dengan bahagia. Kamu salah, Ares. Karna pernikahan itu sama dengannya kita harus punya sabar yang lebih gede lagi. Inak yakin deh, pasti ada sifat Rakha yang nggak kamu duga? Beda pas sama pertama kali ketemu manis-manis aja gitu. Iya, kan? Haha Ares Ares,“ ucap Camilla. Sejurus kemudian; Ares pun tersenyum. Kali ini senyuman Ares sedikit lebih cerah dibandingkan tadi. “Tampi asih inak nasihatnya,“ ucap Ares.

Tin tin tin. Ares dan Camilla pun menoleh ke depan. Saat mereka mendengar bunyi klakson motor. “Mas Rakha?“ gumam Ares. Saat melihat orang yang membunyikan klakson motor itu, ternyata adalah Rakha. Camilla pun memberi isyarat kepada Ares; supaya dia segera menghampiri Rakha. Ares pun menghampiri Rakha, lalu mencium tangannya. “Lho? Kan ini baru jam setengah empat sore? Kok jam segini mas udah pulang?“ tanya Ares sembari membetulkan rambut Rakha yang sedikit berantakan.

“Jujur hari ini mas nggak fokus kerja, sayang. Tadi mas minta tolong sama Mba Tere buat cari tau orang yang udah ngechat mas itu siapa, mana mas mikirin kamu mulu, udah buyar semua,“ sahut Rakha terlihat gusar. Tiba-tiba terdapat secercah rasa bersalah di hati Ares. Gara-gara masalah chat dari nomor tidak dikenal saja, telah mampu membuat konsentrasi Rakha buyar. Hingga membuat dirinya terpaksa harus pulang lebih awal. Lihatlah air muka Rakha saat ini. Dia terlihat sangat letih.

Ares [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang