[TAMAT] Cerita ini ngambil latar belakang Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Seumpama cerita ini nggak sesuai dengan ekspektasi kalian-atau kalian nganggep cerita ini jelek, karna banyak typo, nama tokoh ketuker, dan banyak tokoh di mana-mana. Darip...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tiba di rumah Putra. Ares mengusap pipi sang suami dengan punggung jari telunjuk ia sesaat setelah Paha melepas helm. Seolah terdapat secuil noda di sana. Se-berapa pun ia posesif; Ares tiada merasa risih. Justru ia merasa sangat dicintai. Semua orang selalu memiliki cara masing-masing dalam mengungkapkan cinta di hati. Entah dengan se-tangkai bunga, se-bait puisi, ucapan-ucapan romantis, dan lain-lain. “Hah? Pulang nanti mampir cari cemilan dulu?“ ucap Ares setelah sang suami ber-ucap soal niat ingin mencari cemilan malam.
“Laper, tapi nggak mau makan nasi. Ngemil aja,“
“Terserah, tapi pake uang mas. Jangan pake uang aku,“
Ares dan Rakha pun dipersilahkan masuk ke dalam. “Permisi assalamu'alaikum,“ ucap Ares sopan dan santun. “Put, maaf, gue musti bareng ama misua gue. Nggak papa, kan?“ ucap Ares cemas. Barangkali Putra merasa kurang nyaman. “Santai aja kali, ngab,“ sahut Putra. Ares, Putra, dan Dinda memang berbeda ruang kelas, tetapi demi meraih nilai terbaik saat ulangan tengah semester nanti; tiga serangkai itu berencana mengadakan kegiatan belajar bersama seperti ini secara rutin.
Rakha permisi meminta ijin menemani orang tua Putra ngopi di teras belakang. Orang se-tua Rakha mana pantas berada di tengah-tengah remaja belasan tahun? Saat ingin mengobrol—pun pasti dengan alur cerita yang kurang pas. Itulah mengapa orang tua harus lah bersama orang tua pula. “Ini nilai cos A kan 8/10? Trus dibagi dua lagi jadi 4/5. Hasil akhir dari cos A kita bagi lagi, nih. 4 masih bisa dibagi 2 jadi 2 sedangkan 5 nggak bisa dibagi lagi. Jadi, hasilnya 2/5,“ ucap Ares menjelaskan salah satu soal matematika.
Dinda tertegun. Ares memang pantas mendapat juara umum di sekolah. Dia jenius banget, batin Dinda. “Trus ini gimana lagi, Res?“ tanya Dinda. “Tinggal cari tan A nya aja,“ sahut Ares. Putra terus menerus mengeluh jikalau semua ini terasa begitu sulit, dan membuat kepala ia pening. “Gue berharap pelajaran matematika dihapuskan—“ gumam Putra sambil rebahan, lalu Ares langsung memberi pukulan kelas hingga membuat Putra mengaduh. “Gue jauh-jauh ke rumah lu, lu malah rebahan, anjir,“ ucap Ares.
Di teras belakang; Rakha menikmati se-cangkir kopi bersama Sifa dan Sahroni. “Udah lama tinggal di Mataram?“ tanya Sahroni. “Nggak juga, pak. Baru sembilan tahun-an,“ sahut Rakha. Saling ber-tukar cerita tentang kehidupan di Mataram. Rakha juga terbuka soal ia—yang menikah dengan seorang lelaki. Sifa paling terkejut. Sementara Sahroni terlihat lebih tenang. “Gimana rasanya?“ tanya Sahroni penasaran. “Sama aja, pak. Beda gender doang haha. Biasa, sering berantem hal-hal sepele. Ntar baikan lagi,“ sahut Rakha.