Nora

10 2 0
                                    

Sang leluhur mengangkat pedang berbalut kabut hitam pekat itu pada Saber. Dia menggenggamnya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain dilipat ke belakang.

Sepanjang pengalaman Saber bertarung di balik bayangan, dia belum pernah melihat itu sekali pun. Namun, dia tahu pedang apa itu. Itu adalah <Sword of Grandeur>, atau Pedang Keagungan. Pedang itulah yang sanggup merobek sayap Bahamut dan membuatnya sekarat hingga tak sadarkan diri selama ratusan tahun.

Di awal kebangkitannya, sang leluhur terkenal karena memiliki gaya bertarung tanpa ampun. Semua musuh, kuat maupun lemah, dihabisi dengan kejam. Dia langsung berada di puncak bangsa Tinzea dalam waktu singkat.

Tiap kali bertarung, sang leluhur kerap kali menggunakan banyak senjata. Boleh dibilang benda apa pun yang dipegangnya dapat berubah menjadi senjata mematikan. Namun, di medan perang, semua setuju bahwa senjata paling mengerikan sang leluhur hanya ada satu, yaitu Pedang Keagungan. Katanya, sekali diayunkan, lusinan kehidupan akan habis dalam jarak jangkauannya.

Saber sendiri belum pernah menghadapi pedang itu. Dia tahu tentang itu, Bahamut pernah bercerita dulu. Namun, dia tidak pernah tahu wujud atau kekuatannya. Ingatan Bahamut agak buram karena meski dia menang, pertempuran itu berakhir dengan dirinya yang sekarat.

Sang leluhur mengangkat tinggi pedangnya, bersiap mengayunkan bilah berkabut itu vertikal. Saber tidak maju atau mundur. Dia tidak tahu bagaimana serangan pedang itu akan terjadi. Dia memasang kuda-kuda, bersiap memalangkan pedang sebagai pertahanan.

Pedang diayunkan pelan, halus dalam satu garis vertikal. Lintasannya tersisa di udara sebagai kabut hitam dan merah. Sang leluhur menyeringai lebar, tapi Saber masih belum merasakan adanya serangan yang datang.

Satu detik, dua detik belalu, di detik ketiga, darah merah tiba-tiba bersimbur deras bak air yang disemburkan ke atas.

"........ Eh?"

Mata Saber melirik belikat kirinya. Darah mengalir deras. Luka itu jelas memotong arteri. Beberapa detik kemudian, barulah dia merasakan perih dan panas dari lukanya.

Darah membasahi kemeja putih di balik jas hitam. Saber tidak ambruk walau dia jelas merasakan rasa sakit teramat sangat, bahkan darah mengucur deras layaknya keran air. Ketika Saber melirik luka itu, dapat terlihat olehnya daging yang terpotong rapi dalam satu tebasan, yang mana harusnya itu mustahil.

Dia jelas menggunakan jas penangkal serangan fisik dan sihir. Jas itu didesain khusus oleh Stacia, dengan durabilitas yang harusnya lebih kuat dari rompi militer. Namun, melihat betapa dalamnya luka yang dia terima, kelihatannya jas itu tidak ada gunanya.

"Itu hanyalah tebasan acak," kata sang leluhur singkat sembari menatap dingin Saber, "aah...... bau darah pekat seekor naga, warna merah mengilap yang tidak terlalu gelap dan tidak terlalu terang, tekstur darah yang tidak terlalu kental, luapan mana panas, menyatu sempurna dengan aliran darah........" sang leluhur menjilat gigi taring yang tampak semakin mencuat keluar, seolah memberitahu Saber kalau gigi itu akan segera menancap di lehernya.

Raja vampir itu kembali mengangkat pedang, lalu mengayunkannya cepat secara horizontal. Lintasan kabut itu kembali terbentuk di udara. Saber yang sudah mulai waspada sontak menarik napas.

"Sial!" Umpatnya. Dia menekuk kedua kakinya, lalu dengan cepat melompat, melakukan salto di udara layaknya pesenam andal.

Wajahnya berada di bawah saat dia mencapai puncak ketinggian. Dia tidak dapat melihat itu, tidak pula mendengarnya meski memiliki indera seekor naga. Namun, dia dapat merasakannya jelas, serangan sang leluhur. Terasa seperti sabetan burung cepat, tepat di depan hidungnya. Itu adalah padatan mana. Pedang Keagungan sang leluhur dapat membuat sihir yang harusnya memiliki ciri khas warna atau cahaya sendiri ketika ditembakkan menjadi tak terlihat. Bahkan oleh naga sepertinya, dan mungkin juga oleh Bahamut, serangan itu sama sekali tidak terlacak.

Seven Dragoneer: ZeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang