Salam Terakhir (Bagian 2)

8 1 0
                                    

Saber sebetulnya masih setengah tidak percaya, tetapi kedua kakinya perlahan berjalan mendekati gadis itu. Dia gelisah, jelas sekali. Seharusnya ini tidak bisa terjadi. Dia melihat sendiri Nora tewas di depan matanya, dia melihat sendiri gadis vampir itu kehilangan cahaya di matanya, dia melihat sendiri tangan gadis itu jatuh lemas ke tanah. 

"Bagaimana...... kau sudah.........."

"Benar, "aku" sudah mati. Itu jelas sekali karena kau juga melihatnya sendiri, bukan?" timpal Nora, begitu tenang meski yang tengah dia bicarakan adalah kematian dirinya sendiri. "Aku adalah "Nora", tapi juga bukan "Nora". Sejatinya aku hanya sisa-sisa, hanya residu dari Nora yang asli. Anggap aku sebagai oleh-oleh yang diberikan "Nora" untukmu. Meski begitu, aku masihlah Nora," gadis itu memalingkan pandangan tiba-tiba, kemudian melanjutkan, "agak membingungkan memang. Tapi intinya: aku adalah Nora!" katanya bangga sambil berkacak pinggang.

Saber tiba-tiba saja merasa tenang. Kesimpulan bodoh itu memang hanya bisa diucapkan oleh Nora yang asli. Gadis itu tidak bagus dalam menjelaskan, tetapi sangat baik dalam menerima penjelasan. Saber sangat paham akan hal itu karena dia sendirilah yang mengajari Nora tentang bagaimana caranya hidup berdampingan dengan manusia sejak mereka tinggal di asrama Akademi Kerajaan.

Dia kembali berjalan pelan sebelum ambruk di hadapan Nora. Dia dekap erat tubuh Nora, dia benamkan wajahnya ke perut Nora yang kini mengenakan seragam akademi kerajaan. Dai menangis, meraung-raung layaknya anak kecil sembari memanggil-manggil nama Nora. Saber melepaskan seluruh emosi yang terpendam dalam dirinya. Dia lepaskan semua hingga Nora tak dapat berkata-kata. Nora tahu Saber telah berusaha kuat sejak lama. Sejak dia menjadi naga—tidak, jauh sebelum itu. Dia berusaha kuat, tetap berdiri karena dia tahu ada orang lain di belakangnya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya Nora melihat Saber menurunkan bahunya yang tegap, memperlihatkan kelemahannya pada orang lain.

Sambil tetap tersenyum lembut, Nora mengusap rambut perak-halus Saber. Dia juga perlahan menurunkan kakinya, mencoba terduduk dengan Saber yang masih mendekap tubuhnya. Sedikit dia merasa malu, tapi tidak dia hiraukan. Ketika dia sudah dapat duduk, dia usap lagi rambut Saber beberapa saat hingga Saber merasa tenang. 

Saber berhenti meraung sekitar semenit kemudian, tapi dia tidak melepaskan tangannya dari Nora. Nora juga membiarkannya sejenak, kemudian mulai bercerita sedikit.

"Kau tahu? Ketika Erimia.... ayahku datang mendekat, aku langsung merasakan keputusasaan tak terbayangkan. Dulu aku tidak pernah merasa takut pada ayah karena aku tahu dia tidak akan membunuhku. Dia membutuhkanku untuk memperbesar kekuasaannya. Tapi di sini, aku berada di sisimu, di sisi manusia yang menjadi musuh ayah. Aku tahu dia akan membunuhku, membunuh kita semua waktu itu, dan aku sadar aku tidak akan bisa menang apapun yang kulakukan. Aku terpaku di tempat, tak dapat menggerakkan bahkan seujung jari. Rasanya memalukan juga mengingat aku yang terlumpuhkan hanya oleh keberadaan ayahku saja."

"Kau tidak perlu malu," Saber memotong dengan suara serak, "Erimia..... orang itu sungguh kuat. Itu bukan salahmu kalau kau terlumpuhkan."

Nora tersenyum, "tidak, itu salahku. Ayah memang kuat, tetapi aku sadar ketakutanku hanya sugesti saja. Ketika melihat dirimu yang tanpa ragu menyerang ayah, aku merasa terkagum-kagum. Semua orang ketakutan waktu itu, semua orang di sana tahu betapa mengerikannya kekuatan Erimia, tetapi hanya kau yang tidak peduli akan hal itu. Kau menyerang ayah tanpa ragu. Itu membuatku tersadarkan kembali. Aku tidak perlu takut. Ayah memang kuat, tapi aku memiliki kekuatan juga. Bukankah kau juga memiliki pikiran yang sama waktu itu?"

"............." Saber tak langsung menjawab. Nora begitu paham dirinya. Dia benar, waktu itu Saber sebetulnya paham betapa kuatnya Erimia, tetapi dia tahu dia juga punya kekuatan. Terlebih lagi dia memiliki seseorang untuk dilindungi. "Waktu itu.... aku sebetulnya tidak memikirkan apapun. Ketika melihat Erimia menyentuhmu, aku merasa tersulut. Aku merasakan amarah luar biasa meluap dalam tubuhku, yang membuatku langsung bergerak menyerang. Aku juga bodoh, aku tidak memikirkan rencana lebih jauh. Bahkan seluruh kejadian ini harusnya tidak terjadi kalau aku tidak ceroboh. Rencana yang kususun, semuanya karena aku terburu-buru ingin semua ini selesai. Aku ingin segera beristirahat sebelum memulai langkah lagi. Tapi semua itu malah..... apa yang aku inginkan, apa yang aku harapkan......."

Seven Dragoneer: ZeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang