Episode 24

392 176 100
                                    

"Bun, Senja mau curhat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bun, Senja mau curhat."

"Bun," panggil Senja yang terlungkup di sofa panjang.

Wajahnya muram. "Bunda, bun."

"Bunda sibuk, ya? Senja liat emang sibuk." Senja masih bisa terkekeh menggoda Bunda.

"Lima menit aja, Bun nanti upahnya Senja pijit─in deh." Senja bangun duduk, kakinya terangkat ke atas.

Bunda menoleh ke Senja wajah anaknya sangat masam seperti buah strawberry yang belum layak dipetik─makan dengan muka mesem-mesem. Bunda menutup laptop, mengamati anak gadisnya yang telah beranjak dewasa. Muka yang semakin cantik, rambut tebal bergelombang, mulut yang mudah sekali membalas. Bunda menghela nafas, dia teringat akan Agam, suaminya yang telah pulang ke hakikat kehidupan.

"Anak gadis Bunda mau cerita, ya," kata Bunda melangkah mendekat. Bunda duduk. Senja tersenyum memberi ruang, kepalanya dia letak di paha Bunda.

"Ada apa sayang?" Bunda mengusap mata Senja.

Senja memejamkannya, dia merasa nyaman akan usapan Bunda. "Bun, kalau posisinya Senja tau di keluarga lain lagi masalah? Itu boleh gak sih Senja ikut campur?"

"Keluarga siapa?" Bunda bertanya.

Senja menjawab pendek. "Langit, Bun."

Senja menceritakan apa yang telah terjadi kemarin tepat di pemilihannya untuk menjadi peserta. Dengan awal baik-baik, tidak terjadi apapun bahkan nyaris lancar jika Ferry tidak membuat onar, dia datang mendobrak pintu, membuat semua yang berada di ruangan terlonjak kaget. Detik-detik mereka akan memilih terhenti sekejap mencari tahu siapa yang datang dan berurusan apa.

Ferry yang merupakan Ayah dari siswa di sekolah elit itu dengan sesuka hatinya berseru kencang, meneriaki nama anaknya, Langit. Dia seperti babi hutan akan menyaksikan ribuan rakyatnya mati. Babi pun merasa sangat marah jika sesuatu menyakiti orang-orang─nya. Ferry selaku orang tua kandung, manusia yang diberikan tanggung jawab oleh Tuhan dengan diberikan karunia seorang anak dengan sadis memburu Langit. Anak laki-laki dengan takdir yang rumit.

Senja mendongak. "Menurut Bunda gimana?" tanyanya. Dia telah mengatakan kegundahan hatinya.

Selepas Senja mohon izin kembali lebih awal tanpa berkumpul merayakan akan ketiga murid yang menjadi wakil kompetensi. Senja dengan terburu-buru menuju rumah laki-laki yang menatapnya penuh arti. Langit mencari kekuatan di diri Senja. Sirat matanya mengatakan dia tidak baik-baik, Langit membutuhkan Senja. Alangkah tidak beruntung, rumah Langit tidak berpenghuni, kosong. Berkali-kali dia memencet bel, memanggil keras, menggoyang-goyangkan pagar, tetapi nihil tidak seorang pun membuka pintu.

"Bun, Senja harus apa liat Langit dijahatin sama Papanya?"

"Senja sedih, mau nangis rasanya. Senja teringat sama Ayah, Bun." Senja memejamkan mata, otaknya kembali berputar kejadian memilukan kemarin. Senja benci dengan Ferry. Dia penjahat, Langitnya baik.

"Kalau Ayah Agam hidup apa kayak Om Ferry? Ah! Senja gak sanggup bayangkannya, Bunda. Ayah gak gitu kan, Bun?"

"Om Ferry buat semua anak-anak yang gak pernah tau arti dari seorang Ayah menjadi hilang, aku contohnya aku gak suka, Papa Duta, dia bukan seorang Ayah. Dia gak pantas dipanggil Papa."

Bunda tersenyum. Senja mendengus. Bunda malah tersenyum menunjukkan betapa lembut dirinya. "Bun, Senja lagi emosi ini lho, Bunda kok senyum?"

"Bunda pun gitu," ucap Senja cemberut, dahinya mengkerut.

"Ayah kamu adalah Ayah Agam yang terbaik Senja. Kamu gak boleh menyamakannya dengan Pak Ferry. Pun dengan orang tua lainnya. Itu gak baik sayang. Setiap orang tua mau yang terbaik untuk buah hatinya."

Senja menggeleng. "Bohong. Itu gak benar. Buktinya Om temperamental itu jauh dari kata orang tua baik, Bun." Senja diam sekejap bergerak menjadi duduk. Dia menoleh ke Bunda.

"Bun, Bunda bayangin itu orang tua datang-datang marah sama Langit, neriaki Langit suruh pulang, dan Senja gak nyangkanya dia mukul Langit, Bunda. Jadi, Bunda tarik ucapan kalau semua orang tua itu mau yang terbaik untuk anaknya." Senja bersedekap dada. Matanya menajam.

"Aish! Anak ini emosinya belum bisa dikontrol. Tiduran lagi sini," kata Bunda gemas menarik kepala Senja kembali terjatuh di paha.

"Nak, sejatinya pasti orang tua mau terbaik untuk anaknya. Jangan dipotong dulu ucapan Bunda." Bunda mendelik kala Senja hendak berprotes.

Senja mengganguk, mulutnya terkatup rapat. "Tapi, cara mereka yang salah, mereka gak tau semestinya. Yang mereka anggap benar, belum tentu yang terbaik untuk anaknya. Pun juga anak mereka mau gak berarti juga yang terbaik. Orang dewasa yang udah menikah bukan sekedar karna terikat janji pernikahan, setelah menikahlah kehidupan mereka akan dimulai, dimana tanggung jawab, sikap, belajar menjadi orang tua."

"Senja gak paham, Bun." Senja memotong percakapan.

Bunda tertawa mungkin penyampaian makna yang dia berikan terlalu rumit bagi Senja. "Nah contohnya kayak gini tugas Bunda adalah memahamkan apa yang Bunda pahami. Bunda mau kamu jurusan IPA tapi kamu milihnya jurusan IPS, ya an?"
Senja mengerjabkan mata mencerna. "Iya, bun terus?" Gadis itu mulai melunak tidak seperti tadi penuh amarah.

"Pada akhirnya kamu milih jurusan IPS kan? Jurusan yang memang kamu mau?"

Senja mengangguk.

"Kamu mikir kalau sikap Bunda itu gimana?" Bunda menggerakkan dagunya.

Senja menjawab. "Ya karna Bunda gak maksa keinginan Bunda."

"Kamu benar, selain itu juga Bunda tau kamu sangat senang dengan keterkaitan di jurusan IPS. Bunda lihat itu semua, Bunda perhatikan kamu, apa ya kesukaan anak Bunda, hobinya, Senja gak suka sama makanan apa, atau Senja benci sama hitung-hitungan. Bunda ahlinya, Bunda tau sayang." Bunda menjawil hidung kecil Senja.

"Di kemungkinan ke depannya, Bunda boleh jadi berbuat egois, Bunda akan paksa kamu ikutin kemauan Bunda. Percayalah Senja ikatan batin seorang Ibu itu kuat. Apa yang Bunda lakukan adalah semata-mata untuk kamu sepenuhnya. Jadi, misalkan Bunda salah jalur yang menurut kamu salah, jangan lupa ingatkan Bunda."

Senja membalas, "Bun, menurut Senja, Bunda gak boleh begadang karna gak baik untuk kesehatan Bunda dan nanti Bunda telat masakin sarapan Senja. Gitu gak Bun?" Senja menaikkan alis. Dia terkekeh.

"Empat jempol untuk kamu." Bunda mencium kening anaknya.

"Persoalan Duta sama Papa─nya rumit. Kita, orang luar, selain hanya bisa tau dengan ketentuan waktu, kapan semuanya terungkap." Bunda menjelaskan pelan.

"Maksud Bunda? Senja nunggu sampai waktu yang kasitahu. Gak dong, Bun. Kasihan Langit, aduh! Senja pusing. Om temperamental itu pasti jahat." Senja menggerutu, mulutnya berkomat-kamit. Mimik mukanya cemberut.

Bunda mengangkat bahu.

Lengang sejenak.

Senja dengan pikirannya dan Bunda memikirkan nasib Langit. Dia teringat akan permintaan Senja membantu Langit untuk bersekolah umum, hal itu sangat janggal baginya sejak saat itu. Ferry dengan tegas tanpa berpikir menolak memasukkan Langit ke sekolah umum. Namun, Evie dengan tiba-tiba berlutut memohon alih-alih mengatakan demi kesembuhan Langit. Akhirnya, wajah Ferry berubah, dia mengangguk. Kemudian hari, Langit dan Senja berada di sekolah yang sama.

***

#ObrolanSingkat

Apa yang akan kalian lakukan kalau tau sosok yang dekat/sayang dengan kalian rupanya ada masalah?

Nggak keseluruhan, baru terlihat yang luar aja. Ikut campur atau diam aja, boleh juga cari tahu sendiri?

Posisi Langit juga kenapa diam-diam aja, ya? Nggak berontak?

Vote dan comment, yuk>

Seul, Love & YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang