Bab -11-

48.7K 3.8K 24
                                    

Tak perlu mencampuri urusanku dan suamiku, aku tak butuh mendengar hubunganmu dan suamiku
-Binar Swastika-

Sesuai dengan ucapan Binar akhirnya ia yang berada di kamar mandi untuk malam ini. Faisal sendiri yang akan mengunci pintu kamar mandi dari luar, tak ada yang berusaha membantunya karena ketiga istri Faisal tak peduli padanya. Anjani yang melihat Binar menggantikan posisinya menjadi merasa bersalah.

"Tante, maafkan Anjani. Ini salah Anjani, seharusnya Anjani yang ada di dalam kamar mandi."

"Ini bukan salah Anjani, ini salah orang dewasa yang tak mengerti tentang hati anak kecil."

Binar berusaha menenangkan Anjani dengan sebuah pelukan, namun baru sebentar memeluk Anjani, Septi sudah menarik Anjani sehingga pelukan itu terlepas.

"Jangan berusaha dekat pada Puteriku, kau membawa pengaruh buruk pada Puteriku."

"Aku tak mau membawa pengaruh apapun pada Anjani, kau yang mendidiknya dengan salah."

"Berani sekali kau mengatakan itu!"

Tangan Septi sudah siap melayang ke pipi Binar namun sebuah tangan menahan tangannya. Ternyata itu adalah tangan Faisal, Septhi pun langsung menurunkan tangannya karena takut dengan tatapan tajam suaminya.

"Jaga sikapmu, Septhi. Kau tidak berhak memukul Binar karena kau bukan siapa-siapanya, hanya aku yang berhak melakukan itu."

"Maaf, Faisal. Aku lepas kendali karena emosi mendengar ucapannya."

Faisal tak membalas permintaan maaf dari istri keduanya dan memilih menoleh ke arah Binar, bertanya kembali tentang keputusan Binar.

"Kau yakin ingin melakukan ini?"

"Sangat yakin."

"Aku beri satu kesempatan lagi untuk berubah pikiran."

"Aku tidak mau mengubah apapun."

"Baiklah, nikmati malam ini di kamar mandi."

Faisal mendorong kursi roda Binar masuk ke kamar mandi lalu menutup dan mengunci pintu dari luar. Semua orang pun masuk ke kamar masing-masing, malam ini Faisal memutuskan berada di kamar Shinta karena Binar tak bisa melayaninya malam ini.

Di dalam kamar mandi, Binar menatap setiap sudut kamar mandi dan dekorasi kamar mandi ini. Kamar mandi rumah Faisal sangat bersih dan terlihat mewah serta elegan, namun tetap saja kamar mandi bukan tempat yang nyaman untuk tidur sehingga Binar memutuskan tidur di atas kursi rodanya malam ini.

Setidaknya ada satu hal baik dari tidur di kamar mandi yaitu ia tak perlu seruangan dengan Faisal dan tidur dengan suaminya itu.

[][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][]

Entah sekarang sudah pagi atau belum, Binar pun tak tahu karena tak ada jam di kamar mandi dan jendela untuk melihat situasi di luar. Semalam Binar tak bisa tidur dengan nyenyak karena harus tidur di kursi roda yang tak empuk, tak ada tempat tidur untuk membaringkan tubuhnya dan tak ada guling. Bahkan Binar seperti tak tidur semalam.

Binar diam dan menunggu pintu kamar mandi dibuka. Setelah sekian lama menunggu, pintu pun dibuka oleh pelayan, pelayan itu terlihat kaget saat melihat keberadaan Binar di dalam kamar mandi. Sedangkan Binar keheranan karena bukan suaminya yang membuka pintu kamar mandi.

"Nona Binar kenapa ada di sini?"

"Saya dikunci Faisal semalam di sini, kenapa bukan Faisal yang buka pintunya?"

Pelayan itu terlihat ragu untuk bicara dan tatapan kasihan tertuju ke arah Binar. Binar pun merasa ada yang aneh dengan sikap pelayan itu, namun ia langsung tahu jawabannya setelah pelayan itu bicara.

"Tuan Faisal sudah berangkat kerja, Nona."

Jadi suaminya melupakan dirinya masih dikurung di kamar mandi? Faisal bahkan tak peduli jika ia merasa bosan, lapar, dan tak nyaman di kamar mandi. Pria itu tetap bisa beraktivitas dengan normal. Sungguh, Binar semakin membenci pria itu.

"Oh begitu, saya ke kamar dulu ya, Bibi."

"Iya, Nona."

Tak mau semakin lama ditatap kasihan oleh pelayan, Binar memutuskan pura-pura terlihat baik-baik saja dan berusaha tetap tersenyum walaupun tipis lalu menggerakkan kursi rodanya menuju ke kamarnya.

Setelah masuk ke kamar dan menutup pintu, Binar tak bisa lagi menahan apa yang ia rasakan, raut wajahnya berubah jadi kecewa dan tatapannya berkaca-kaca. Kehidupannya setelah menikah lebih buruk dari kelumpuhannya.

"Kenapa aku harus lumpuh?"

"Kenapa, Tuhan?"

"Coba saja aku tidak lumpuh, aku tak akan menjadi perempuan yang tak berguna."

"Aku akan bisa menggapai impianku, lalu menjadi perempuan sukses, aku tak perlu menyerah dalam hidupku karena tak ada yang ingin menjadi suamiku, aku tak perlu pasrah saat dijodohkan oleh pria brengsek itu."

"Kenapa kau jahat sekali pada takdirku, Tuhan?"

Binar tak sekuat dan secuek yang orang kira, ada sisi dalam hatinya yang kadang lelah dengan kehidupan ini, selalu ada suara hati yang menyalahkan takdir atas apa yang terjadi padanya hingga hari ini, bahkan Binar masih tak bisa berdamai dengan kelumpuhannya karena rasa tak terima akan takdirnya yang buruk.

[][][][][][][][][][][][][][][][][][][][]

Di saat Binar sedang makan siang sendirian di ruang makan, tiba-tiba saja Shinta datang dan duduk di hadapan Binar. Binar yang tahu arti senyum miring di bibir istri ketiga suaminya, langsung buru-buru menghabiskan makanannya karena sudah lelah mendengar hinaan dari berbagai orang.

"Jadi Faisal tidak ingat dengan keberadaanmu ya?"

"Wajar hal itu terjadi, kau tidak penting bagi Faisal."

"Atau mungkin Faisal ingin selamanya kau berada di dalam kamar mandi."

"Semalam, Faisal menghabiskan malam bersamaku dengan mesra, jadi dia melupakan segalanya dan hanya mengingat aku. Aku mampu membuatnya puas dengan pelayananku. Tidak seperti dirimu."

Karena sudah tak tahan dengan ocehan Shinta, Binar langsung menghempaskan garpu dan sendok di tangannya ke piring hingga menimbulkan suara nyaring. Ia menatap tajam ke arah Shinta yang terkejut.

"Tak perlu campuri urusanku dan Suamiku. Aku tak butuh mendengar hubunganmu dan Suamiku."

Setelahnya Binar langsung memutar balik kursi rodanya dan masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Shinta yang masih tak menyangka jika dirinya bisa bersikap judes seperti ini.

[][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][]

Tangerang, 14 September 2021

Istri TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang