Satu Tahun Kemudian...
Seorang pria yang terlihat kurus dengan kepala tanpa rambut setelah rambutnya rontok akibat pengobatan yang ia lakukan selama ini, sedang berbaring lemas di brankar rumah sakit, berusaha melawan penyakit mematikan dalam tubuhnya walaupun tak mungkin karena penyakit tersebut belum ditemukan obatnya, penyakit itu adalah AIDS dan pria tersebut adalah Faisal.
Setelah mengabaikan gejala HIV yang dideritanya selama satu bulan, akhirnya virus tersebut berkembang menjadi AIDS dan ia baru mengetahuinya satu tahun yang lalu, tepatnya ketika kelahiran putranya. Alasan utama ia menceraikan Berlin dan menjauhi Ankara, serta menjauhi orang-orang tersayang dalam hidupnya agar tidak tertular penyakit ini.
Sudah setahun ia tinggal di rumah sakit sendirian dengan virus yang terus menggerogoti tubuhnya perlahan-lahan dan tinggal menunggu kapan ajal menjemput nya. Seorang dokter masuk ke ruang rawatnya dan tersenyum ramah padanya namun Faisal hanya menatap datar dokter tersebut.
"Selamat pagi, Tuan Faisal. Bagaimana kabarmu pagi ini?"
"Masih sama seperti setahun yang lalu, saya masih sakit."
"Jangan pantang menyerah, Tuan. Anda harus kuat melawan penyakit ini, Tuhan dan mukjizat nya itu nyata dalam kehidupan. Mungkin saja...
"Tak perlu bicara kemungkinan yang tak akan terjadi padaku, Dokter."
"Baiklah, aku akan memeriksa kondisimu terlebih dahulu."
Faisal hanya mengangguk lemah dan dokter tersebut menjalankan tugasnya, dari raut wajah kecewa di wajah sang dokter, ia pun tahu bahwa tak ada kemajuan pada kondisinya malah semakin memburuk. Namun dokter tersebut berusaha menjelaskan dengan kata-kata yang lebih lembut agar tak menyakiti perasaannya.
"Kondisimu stabil, hanya saja virus tersebut semakin berkembang dalam tubuhmu."
"Berapa lama lagi aku bisa bertahan?"
"Tuan Faisal, seharusnya Anda tidak mengatakan itu, Anda pasti bisa bertahan, Anda sudah membuktikan bahwa Anda kuat selama setahun ini."
"Berapa lama lagi aku bisa bertahan?"
Faisal tak mempedulikan motivasi dari dokter tersebut dan kembali menanyakan hal yang sama. Dokter tersebut menghela nafas berat dan terpaksa mengatakan perkiraannya.
"Tinggal beberapa hari lagi, mungkin hari ini, besok, atau lusa, namun ini masih prediksi seorang dokter, bukan Tuhan."
"Bisa tolong ambilkan ponselku?"
"Iya."
Faisal tak merespon apapun atas jawaban sang dokter. Setelah memberikan ponsel yang diminta Faisal, dokter tersebut pamit pergi untuk memeriksa pasien lain. Faisal menelepon nomor asisten pribadinya dan mengatakan banyak hal yang harus dilakukan oleh asistennya termasuk mengurus hak warisan, berkas-berkas penting, dan lain-lain. Setelahnya ia mematikan panggilan telepon dan menelepon nomor atas nama Berlin yang sudah setahun tak ia hubungi.
Faisal pikir Berlin tak akan mengangkat panggilanya namun hanya butuh lima belas detik untuk Berlin mengangkat panggilannya. Berlin masih sama seperti dulu, perempuan yang baik dan tulus walaupun sudah ia sakiti selama ini.
Di sisi lain, Berlin menunggu Faisal bicara. Awalnya ia ragu mengangkat panggilan Faisal karena sudah setahun ini mereka tak berkomunikasi, Berlin sudah memulai hidup baru sebagai sigle parent sekaligus wanita karir, namun tak sedetik pun ia melupakan Faisal. Buktinya kerinduannya pada Faisal melebihi kebenciannya pada Faisal. Entah sudah sebodoh apa ia karena masih berharap Faisal punya alasan kuat untuk perceraian mereka.
"Berlin."
Jantung Berlin berdegup kencang saat Faisal kembali memanggil namanya namun ia dibuat khawatir dengan suara serak dan pelan tersebut, walaupun tak berkomunikasi selama setahun namun Berlin masih hafal suara bariton Faisal.
"Kau baik-baik saja, Faisal?"
"Maaf atas semua luka yang aku torehkan padamu, Berlin. Aku mencintaimu Berlin, hanya kau perempuan yang kucintai... sampai saat ini. Aku berharap punya waktu lebih untuk membahagiakanmu namun aku tak punya waktu, Berlin. Aku berdoa semoga dipertemukan denganmu di kehidupan selanjutnya dan aku janji akan membahagiakanmu dengan cintaku. Selamat tinggal, Berlin."
"Faisal?! Apa yang terjadi, Faisal? Apa terjadi sesuatu yang buruk padamu? Faisal, katakan sesuatu padaku."
Tak ada balasan lagi dari Faisal, namun Berlin mendengar suara ponsel jatuh, tetapi panggilan masih berlangsung. Berlin dibuat panik dan khawatir saat mendengar suara orang-orang di sekitar Faisal dan jantungnya berhenti berdetak selama lima detik saat mendengar kondisi Faisal.
"Pasien sudah tak bernyawa."
[][][][][][][][][][][][][][][][]
"Kau ingin kemana, Berlin?"
Aruna yang baru saja masuk ke kamar adiknya untuk mengajak Berlin makan malam dibuat bingung saat melihat adiknya mengemasi sebagian pakaiannya ke dalam koper. Tanpa menoleh ke Aruna, Berlin menjawab dan tetap lanjut mengemasi pakaiannya.
"Aku akan pulang ke Indonesia, Kak."
"Tapi, kenapa? Ada urusan apa hingga tiba-tiba kau ingin pergi ke Indonesia?"
"Faisal meneleponku dan dia...
"Astaga, Berlin. Dimana otakmu?! Pria itu sudah menceraikanmu, tidak pernah menanyakan kabarmu, tidak mau mendengar penjelasanmu, tapi kau masih peduli padanya dan ingin pergi ke Indonesia hanya karena dia meneleponmu?"
Aruna langsung memotong ucapan adiknya karena emosi yang memuncak saat mendengar nama mantan suami adiknya. Ia tak habis pikir dengan adiknya yang belum bisa melupakan Faisal sampai saat ini, entah apa yang diberikan Faisal pada Berlin yang tak bisa diberikan oleh pria lain yang selama ini mendekati Berlin.
"Aku tak punya waktu berdebat denganmu, Kak. Aku sudah memesan tiket untuk penerbangan malam dan takut terlambat, aku titip Ankara, aku pamit pergi, Kak."
Tanpa menunggu respon kakaknya, Berlin langsung menarik kopernya dan pergi dari rumah. Ia mengabaikan panggilan dan pertanyaan dari orang rumah saat melihatnya membawa koper. Sekarang ia hanya memikirkan Faisal dan hatinya sangat cemas dengan kondisi pria itu, semoga ia salah dengar tentang kondisi Faisal.
"Tolong jaga Faisal, Tuhan."
[][][][][][][][][][][][][][][][][]
Tangerang, 08 Mei 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Terakhir
RomantikBinar sudah terbiasa hidup bergantung pada kursi roda semenjak umur sepuluh tahun. Sejak saat itu kepribadiannya berubah, tak ada ada lagi keceriaan dan tawa, yang ada hanya kesedihan. Mimpi menjadi seorang atlet pun kandas karena satu tragedi palin...