"Rasa takut membuatku tak bisa membedakan mana yang kenyataan dan bukan."
-Berlin Swastika-TARGET: 2,7 K ATAU 2700 VOTE.
....................................Setelah berjam-jam tak sadarkan diri, akhirnya Berlin mulai membuka mata hingga sadar sepenuhnya, Berlin mengetahui jika sekarang ia berada di rumah sakit karena warna ruangan putih, bau obat-obatan, dan alat medis.
Dari sekian banyak orang yang menunggunya, kenapa ia harus melihat wajah pria bajingan yang sialnya berstatus sebagai suaminya? Lalu wajah orang tuanya yang telah membuat hidupnya menderita, hingga wajah perempuan licik Septhi. Baru akhirnya ia melihat wajah khawatir dari adiknya, Levron, kak Aruna, kakak iparnya, dan Arman.
Pernahkah kalian merasa ingin berteriak, memarahi semua orang, dan meluapkan rasa kecewa namun malah berakhir diam dan meneteskan air mata? Semua itu sekarang Binar rasakan, rasa sakit yang terlalu dalam ditorehkan oleh orang di sekitarnya membuat ia tak bisa berkata apapun dan memutuskan menangis, membiarkan musuhnya merasa menang atas kekalahannya.
"Kakak, aku senang kau telah sadar. Aku sangat takut kehilanganmu tadi."
"Bagaimana keadaanmu, Berlin? Apa masih terasa sakit?"
"Apa perlu aku panggilan Dokter untuk memeriksamu?"
"Kau tak perlu khawatir, Berlin. Kondisi kandunganmu baik-baik saja."
"Dokter mengatakan kau mengalami kelelahan yang berlebihan hingga pingsan. Kau butuh istirahat agar kondisimu membaik."
Ucapan dan pertanyaan dari adiknya, kakaknya, kakak iparnya, Levron, dan Arman tak ia balas. Mungkin semua rahasia sudah terbongkar hingga mereka memanggilnya dengan nama aslinya, Berlin tahu mereka khawatir pada dirinya namun ini bukan waktunya untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang, ini waktunya untuk memperjelas dan mengakhiri keadaan ini.
"Ceraikan aku, Faisal."
Sebagian orang sontak terkejut, begitu pun Faisal, mereka tak menyangka jika Berlin akan mengucap tiga kata itu padahal sedari tadi diam. Hanya Septhi yang tampak biasa saja, seakan sudah menduga hal ini akan terjadi.
"Binar, jangan mengambil keputusan secepat ini, aku bisa menjelaskan semuanya."
"Pertama, namaku bukan Binar, namaku Berlin. Kedua, aku tak ingin mendengar penjelasan apapun darimu. Ketiga, kita sudah sama-sama saling membohongi satu sama lain sehingga aku anggap kita impas."
"Aku tidak mau bercerai, kau pasti akan membawa anakku! Dia anakku, Binar! Putraku! Kau tak bisa memisahkan aku dari anakku sendiri! Aku tak peduli pada hubungan ini, aku tak mencintaimu, tapi aku sangat mencintai anakku, kita akan bercerai saat anak kita lahir! Camkan itu!"
"FAISAL!"
"Kakak, ada apa? Apa kau bermimpi buruk?"
Berlin yang merasa ketakutan akhirnya membuka mata, ia menatap sekitarnya dan berusaha mencari semua orang yang menunggunya di rumah sakit, namun ia tak menemukan siapa pun kecuali Lefi, adiknya. Ia pun baru sadar bahwa ini bukan di rumah sakit, melainkan di mobil. Keringat mengalir deras di keningnya, tubuhnya bergetar kuat, dan raut wajahnya terlihat begitu ketakutan, bahkan Berlin berulang kali menampar pipinya untuk memastikan bahwa ini adalah kenyataan dan tadi hanya mimpi. Lefi pun terkejut dengan reaksi tiba-tiba kakaknya saat tidur dan setelah tidur, ia menduga bahwa kakaknya bermimpi buruk.
"Kita sedang dimana, Lefi?"
"Di dalam mobil, Kak. Setelah kita berbicara sebentar, kau langsung tertidur. Sekarang kita sudah sampai di rumah Kak Faisal, kau bermimpi apa hingga terlihat begitu takut seperti ini, Kak?"
Dengan lembut, Lefi mengusap keringat di kening kakaknya, sedangkan Berlin menghela nafas lega saat mendengar jawaban Lefi. Untungnya tadi hanya mimpi, berarti mimpinya dimulai dari sampai di rumah sakit sampai ke adegan rumah sakit. Namun rasa sakit akibat mimpi itu terasa begitu nyata, bagaimana jika tadinya itu bukan mimpi melainkan kenyataan? Apa ia bisa menghadapinya?
"Kak, kita sudah sampai di rumah Kak Faisal. Kau tak ingin turun?"
"Ya, ayo turun. Ambilkan kursi roda ku di bagasi."
"Kau ingin meneruskan kebohongan ini, Kak?"
"Aku butuh waktu, Lefi. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk jujur."
Lefi mengangguk mengerti lalu keluar dari mobil dan mengambil kursi roda yang terlipat dari bagasi, ia membantu kakaknya naik ke kursi roda dan mendorong kursi roda tersebut masuk ke dalam rumah kakak iparnya. Sebelum itu, ia melihat kakaknya memberikan sebuah amplop berwarna cokelat ke supir, mungkin uang untuk tutup mulut.
Suara teriakan antara Septhi dan Faisal dari dalam rumah membuat Berlin teringat dengan mimpinya saat tertidur di mobil. Tubuhnya langsung diam mematung karena takut mimpi itu menjadi kenyataan atau bahkan pertanda untuk dirinya mempersiapkan mental sebaik mungkin.
"Lefi, berhenti."
"Kenapa, Kak? Kau membutuhkan sesuatu?"
"Putar balik, Lefi. Bawa aku pergi kemana pun untuk saat ini."
"Kenapa tiba-tiba kau ingin pergi, Kak? Lagi pula sepertinya ada tamu di rumahmu, aku mendengar suara .....
"Lefi, bawa aku pergi."
Berlin langsung memotong ucapan adiknya karena tak tahan terus ditanya oleh adiknya. Lefi yang mendengar ucapan kakaknya yang penuh penekanan akhirnya menyetujui ucapan kakaknya walaupun ia masih bingung dengan reaksi kakaknya yang aneh saat mendengar suara dari dalam rumah. Lefi mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi taksi online untuk pergi bersama kakaknya.
"Aku sudah memesan taksi, ayo kita tunggu di depan gerbang saja, Kak."
Sejenak Berlin menghela nafas lega lalu mengangguk setuju, membiarkan adiknya memutar balik kursi rodanya, namun belum sempat melangkah, terdengar suara teriakan Septhi yang sangat nyaring, suaranya sangat dekat yang berarti Septhi sudah keluar dari rumah Faisal, namun suara itu bukan tertuju untuk Berlin dan Lefi, sepertinya Septhi mengumpat pada Faisal.
"Dasar pria bodoh! Kau akan menyesal karena tak mempercayai ucapanku! Berlin itu tak sepolos dan sebaik yang kau pikirkan!"
Lefi langsung balik badan untuk melihat seseorang yang sudah menghina kakaknya. Alangkah terkejutnya ia melihat istri lain dari suami kakaknya yang beberapa hari lalu ikut mengunjungi rumah untuk doa bersama, seingatnya perempuan itu bersikap baik pada kakaknya lalu kenapa sikap perempuan itu berubah seperti iblis? Lefi semakin yakin ada yang tak beres dengan kakak iparnya, kakaknya, istri-istri kakak iparnya, dan pernikahan antara kakaknya dan kakak iparnya. Tatapan Lefi dan Septhi bertemu sejenak, Septhi tak memberikan reaksi berlebihan pada Lefi karena merasa tak punya urusan pada remaja itu, sedangkan Lefi menatap tak suka ke arah Septhi karena telah menghina kakaknya.
Berbeda reaksi dari Septhi saat melihat Berlin, Septhi langsung menghampiri Berlin dan hendak menampar Berlin namun Berlin yang mengetahui gerak-gerik Septhi langsung menahan tangan perempuan licik itu.
"Jangan coba-coba menyentuh ku dengan tangan kotormu."
"Hebat sekali, Berlin. Racun apa yang kau berikan pada Faisal hingga pria itu tak percaya sedikit pun kebenaran tentangmu yang menceritakan keburukanmu?"
"Perempuan sepertimu tak akan tahu apa itu arti cinta, jadi percuma aku menjelaskan ikatan cinta antara aku dan Faisal."
"Begitukah? Mari kita lihat, sampai kapan kau bisa berbohong pada Faisal di balik ikatan cinta itu."
Septhi langsung melepaskan tangannya dari genggaman tangan Berlin lalu meninggalkan Binar dan adiknya. Berlin hanya menatap datar kepergian Septhi, sedangkan Lefi masih syok dengan semua yang terjadi.
"Apa yang terjadi sebenarnya pada pernikahanmu dan Kakak Ipar, Kak?"
"Aku jelaskan pun, kau tak akan mengerti, hubungan antara kami sangat rumit."
[][][][][][][][][][][][][][][][][]
Tangerang, 25 Desember 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Terakhir
RomanceBinar sudah terbiasa hidup bergantung pada kursi roda semenjak umur sepuluh tahun. Sejak saat itu kepribadiannya berubah, tak ada ada lagi keceriaan dan tawa, yang ada hanya kesedihan. Mimpi menjadi seorang atlet pun kandas karena satu tragedi palin...