Seseorang akan menjadi dirinya sendiri saat berada di dekat orang yang tepat
-Binar Swastika-Binar sedang asyik mencari buku yang hendak ia beli nantinya, ia akan membeli banyak buku karena akan membuat toko buku sekaligus perpustakaan umum. Sesuai dengan catatan yang ditulis Elis, Binar memilih dari urutan atas sampai bawah. Namun ada beberapa buku yang tidak ia temukan di rak sehingga harus bertanya pada karyawan toko buku.
"Buku Love Your Self tidak ada, apa sudah habis?"
"Sebentar, saya carikan dulu, Nona."
"Baik. Oh ya, bisa tolong ambilkan buku The Queen In Kingdom, bukunya berada di atas, saya tidak bisa mengambilnya."
Karyawan itu mengangguk mengerti setelah melihat kondisi Binar yang memakai kursi roda, ia pun mengambilkan buku tersebut pada Binar.
"Terima kasih."
"Sama-sama, tunggu dulu ya, Nona."
"Baik."
Sambil menunggu karyawan itu mencari judul buku yang ia inginkan, Binar pun mencari buku lainnya agar daftar buku yang dibeli cepat selesai dan ia bisa pulang. Namun saat sedang berkeliling di toko buku, ia melihat kakaknya sedang berada di restoran depan toko buku lewat kaca transparan.
"Kak Aruna ada di sini juga, aku ingin menemuinya tapi daftar buku ini belum selesai."
Binar bahagia melihat kakaknya ada di Mall juga, ia pun menggerakkan kursi rodanya ke arah kasir sambil membawa buku di pangkuannya. Binar menaruh buku-buku tersebut di atas meja kasir.
"Ada lagi, Nona?"
"Aku kesulitan mencari daftar buku dari nomor 40 - 200, bisa tolong carikan? Nanti totalkan saja semuanya dan akan aku bayar."
"Baik, Nona."
"Terima kasih, aku mampir dulu ke restoran di depan, jika sudah selesai menemukan semua buku itu, katakan saja padaku."
"Sama-sama, baik."
Binar menghela nafas lega karena karyawan yang berjaga di kasir mau membantunya dan meminta karyawan lain melakukan hal itu, sedangkan kasir menghitung total buku yang sudah ditemukan. Binar pun menggerakkan kursi rodanya keluar dari toko buku lalu menghampiri meja kakaknya.
"Kak Aruna."
"Binar?! Aku tak menyangka kita akan bertemu di sini."
"Aku juga, Kak. Aku sangat merindukanmu, Kak."
"Aku pun sangat merindukan Adikku yang pendiam ini."
Binar tertawa kecil mendengar sebutan kakaknya untuk dirinya. Mereka pun berpelukan dan melampiaskan rasa rindu setelah tak bertemu beberapa minggu.
"Kau sedang apa di sini, Binar? Makan?"
"Tidak, aku tadinya ada di Toko Buku, tapi aku melihatmu dan langsung menghampirimu."
"Oh, ternyata menikah tak membuatmu berubah. Masih suka membaca buku."
"Iya, begitulah. Kakak sedang makan siang di sini? Sendirian?"
Binar yang tak mau pernikahannya menjadi topik pembicaraan dengan kakaknya, buru-buru mengalihkan pembicaraan ke arah lain dan untuknya kakaknya tak menyadari hal itu.
"Iya, sebenarnya bersama Jarvis, tapi dia belum datang, sedang dalam perjalanan. Kau gabung saja makan siang bersama kami."
"Tidak, Kak. Nanti aku mengganggu keromantisan kalian. Aku juga sudah ingin pulang."
"Kau ini Adikku, tidak mungkin kau mengganggu, biar aku pesankan makanan dan minuman untukmu."
"Baiklah."
Binar memilih pasrah dan setuju untuk makan siang bersama kakaknya karena ia tahu percuma juga berusaha menolak ajakan kakaknya. Kakaknya pun memanggil pelayan dan Binar menyebutkan pesanannya, Aruna pun menyebutkan satu pesanan lagi untuk suaminya, lalu pelayan itu pergi untuk menyiapkan pesanan mereka.
Di saat yang bersamaan Jarvis datang dengan senyum manisnya dan langsung memeluk Aruna dan mencium kakaknya. Ia bisa melihat betapa cintanya Jarvis pada kakaknya, sama seperti ayahnya mencintai ibunya, mungkin adiknya pun akan memiliki pria seperti Jarvis, sepertinya hanya dirinya yang memiliki kisah romansa yang buruk.
"Aku sudah menunggu dari tadi, kau telat lima belas menit."
"Maaf, Sayang. Jalanan macet. Ada Binar juga?"
"Iya, Kak. Aku engga ganggu kalian kan?"
"Engga kok, aku malah senang ada kamu, jadi kita bisa makan siang bertiga, jarang sekali kita bisa bersama."
"Benar kan kata Kakak, kamu engga mungkin ganggu."
Setelah berjabat tangan dengan Jarvis, kakak iparnya pun duduk di samping kakaknya. Ketiganya saling berbicara pada satu sama lain sambil menunggu pesanan datang. Akhirnya pelayan datang membawakan pesanan mereka dan meletakkannya ke atas meja. Mereka pun makan bersama dan pembicaraan tak lagi berlanjut.
"Aku sudah selesai makannya, Kak. Tidak masalah kan aku pamit pulang duluan?"
"Tidak masalah, silahkan."
"Hati-hati di Jalan."
"Iya, terima kasih sudah mengajak makan siang bersama."
"Kau ini bersikap seperti kita orang asing saja."
Setelah pamitan, Binar pun menggerakkan kursi rodanya masuk ke toko buku, saat bersama Aruna, ia bisa menjadi dirinya yang dulu, ceria dan tersenyum. Hal itu karena Aruna tak pernah memandang ia dengan pandangan yang berbeda dari sebelum kakinya lumpuh sampai sekarang lumpuh. Kakaknya tetap menganggap dirinya adalah Binar yang sama, yang kuat, mampu melakukan segala sesuatu sendirian, dan tidak lemah.
"Bukunya sudah semua dicarikan?"
"Tinggal sepuluh lagi, Nona. Tunggu sebentar."
"Oke."
Sambil menunggu pesanan bukunya selesai, Binar melihat-lihat buku lain di toko buku ini hingga akhirnya matanya tertuju ke arah alat lukis. Ia teringat pada Anjani yang suka menggambar, bakat Anjani bisa meningkat ke melukis jika terus diasah. Ia pun berniat membeli alat lukis tersebut.
"Sudah selesai, Nona. Totalnya dua belas juta rupiah, sudah diskon sebanyak 10%."
"Ini pembayarannya dengan kartu kredit, totalkan juga dengan satu set alat lukis ini."
"Baik, Nona."
Karyawan itu mulai melakukan pembayaran dengan menggesek kartu kredit milik Binar dan proses pembayaran pun selesai. Binar menelepon supirnya agar masuk ke dalam Mall, di lantai 5 yang terdapat toko buku. Akhirnya supirnya datang dan Binar langsung meminta bantuan pada supirnya.
"Tolong dibawa semua bukunya, Pak."
"Baik, Nona."
Supir tersebut mengikuti Binar dari belakang, sedangkan Binar menggerakkan kursi rodanya menuju lift, mereka pun akhirnya pulang ke rumah. Namun Binar tak mengetahui badai apa yang siap menyambutnya di rumah.
[][][][][][][][][][][][][][][][][][][]
Tangerang, 16 September 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Terakhir
RomanceBinar sudah terbiasa hidup bergantung pada kursi roda semenjak umur sepuluh tahun. Sejak saat itu kepribadiannya berubah, tak ada ada lagi keceriaan dan tawa, yang ada hanya kesedihan. Mimpi menjadi seorang atlet pun kandas karena satu tragedi palin...