Bab -66-

37.5K 3.7K 203
                                    

"Katakan apa yang harus aku lakukan agar kau memaafkanku? Aku siap melakukan apapun karena aku tak akan kuat jika harus merasakan kehilangan lagi."
-Berlin Swastika-

Butuh waktu untuk Berlin memahami semua yang terjadi, apa yang terjadi saat ini tak berjalan sesuai dengan apa yang ia rencanakan dan harapkan, semuanya berantakan, termasuk pernikahannya yang di ambang kehancuran. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mencegah kehancuran tersebut namun untuk berpikir saja rasanya sangat sulit karena otaknya sudah terlalu lelah dengan peliknya kehidupan.

Lefi yang melihat kakaknya terdiam dan terlihat frustasi, berinisiatif mengambilkan minum untuk kakaknya. Ia pun menuangkan air dari teko di meja ke dalam cangkir lalu kembali dan memberikan cangkir tersebut pada kakaknya.

"Minum dulu, Kak."

"Engga, Lefi. Ini bukan waktunya minum, aku harus berbuat sesuatu untuk membuat Faisal percaya bahwa aku benar-benar mencintainya dan terpaksa membohonginya, tapi bagaimana?"

"Kita akan dipikirkan hal itu besok saja, Kak. Ini sudah malam, jika otak Kakak dipaksa terus berpikir maka akan mempengaruhi janin dalam kandungan Kakak. Lebih baik minum dulu agar lebih tenang lalu istirahat, jangan terlalu stress. Semuanya pasti akan baik-baik saja."

Mendengar perkataan Lefi yang menenangkan membuat Berlin perlahan-lahan bisa mengurangi rasa cemas dan takutnya. Ia pun mengangguk dan mengambil cangkir dari tangan adiknya lalu meminum air dalam cangkir sampai habis. Lefi menaruh kembali cangkir tersebut ke meja lalu menuntun kakaknya untuk berbaring di kasur, ia menarik selimut untuk menutupi tubuh kakaknya.

"Semuanya akan baik-baik saja kan, Lefi? Faisal engga akan pergi kan? Kami engga akan bergerak kan?"

"Semuanya pasti baik-baik saja, Kak. Jangan dipikirkan lagi, ayo tidur."

Lefi mengusap rambut kakaknya sebentar, sebelum akhirnya mematikan lampu dan ikut berbaring di samping kakaknya. Namun Berlin belum kunjung tidur karena masih khawatir akan apa yang terjadi besok, Lefi mengerti isi hati kakaknya dan langsung memeluk kakaknya untuk menguatkan kakaknya.

"Kalau Binar ada di sini, dia akan mengatakan bahwa aku bisa menghadapi apapun karena aku pemberani, namun aku belum sempat mengatakan padanya bahwa aku lemah tanpa dirinya, dia sudah pergi meninggalkanku lebih dulu sebelum mendengarkan diriku."

Air mata jatuh ke pipi Berlin saat mengingat kenangan bersama mendiang kakaknya, sekarang ia tak bisa pergi ke orang tuanya untuk meminta bantuan, perlindungan, atau nasehat. Binar yang merupakan saudari paling mengerti dirinya pun sudah tak ada. Ia merasa begitu takut dengan kehidupannya saat ini, entah bagaimana masa depannya setelah ini, Berlin tak bisa membayangkannya.

"Aku tahu tak bisa menggantikan posisi Mendiang Kak Binar dalam hidup Kak Berlin, tapi aku akan berusaha selalu ada di sisi Kak Berlin terutama di saat sulit seperti ini."

"Dulu, banyak yang mengatakan bahwa Binar itu lemah, diisengin sedikit langsung nangis. Binar itu rapuh dan Berlin itu kuat. Tapi mereka engga tahu jika kekuatan Berlin adalah Binar. Aku bisa melawan semuanya demi Binar, saat di sekolah ada anak perempuan yang nakal pada Binar maka aku akan membalasnya untuk Binar. Tapi sekarang aku tak punya alasan untuk kuat. Seharusnya Binar cerita padaku tentang kesedihannya setelah insiden itu, tapi dia memilih diam lalu mengambil langkah mematikan tanpa memberitahuku. Dia meninggalkan aku sendirian, saat aku tahu dia telah meninggal, jantungku berhenti berdetak selama lima detik, kami tumbuh dalam rahim yang sama, selalu bersama dari bayi sampai anak-anak dan terpisah karena kematian, rasanya aku ingin ikut mati saja bersama Binar."

"Jangan katakan itu, Kak. Kau akan menjadi calon ibu, kau harus bertahan demi anakmu, Kak Binar pasti sedih di Surga saat mendengar ucapanmu."

Berlin tahu ucapannya adalah dosa karena tak bersyukur atas berkat Tuhan dalam hidupnya, tapi ia juga lelah terus dihadapi masalah. Selama satu jam, Berlin terus menangis di pelukan adiknya hingga akhirnya tertidur tanpa sadar. Setelah memastikan Berlin sudah tidur, Lefi kembali bangun dan mengambil ponselnya untuk menghubungi Aruna, kakak pertamanya.

"Halo, Kak. Aku ingin membicarakan soal Kak Berlin."

[][][][][][][][][][][][][][][][]

Berlin terbangun di pagi hari dengan mata sembap sehabis menangis semalam. Ia bangun dengan kondisi belum sadar sepenuhnya, berusaha mengumpulkan kesadarannya namun ia langsung tersadar saat mendengar suara seseorang memanggilnya.

"Berlin."

Itu suara Aruna.

Berlin menoleh ke asal suara dan terkejut saat seseorang memeluknya, pelukan hangat dan aroma tubuh yang merupakan ciri khas Aruna membuat Berlin yakin bahwa ini benar kakaknya dan ia tak berhalusinasi.

"Kakak."

Tangis Berlin kembali pecah saat melihat kakaknya, ia tak bisa pura-pura kuat di depan kakaknya karena ia tahu itu percuma, tanpa perlu diucapkan secara lisan, kakaknya bisa tahu bahwa ia sedang sedih lewat matanya.

"Lefi telah menceritakan semuanya, kita akan ke rumah Faisal dan Kakak akan menceritakan semuanya, bahkan jika perlu kita meminta bantuan Ayah atau memaksa Ayah untuk berkata jujur. Itu rencana terbaik saat ini."

"Tapi Faisal sudah sangat kecewa, Kak. Dia tak akan mendengarkan siapa pun. Aku mengenalnya dengan baik."

"Dia akan mendengarkan penjelasan darimu, kau harus percaya akan hal itu. Sekarang bersiap-siaplah, kau harus terlihat rapi dan cantik saat menemui Faisal."

Berlin langsung menurut dengan ucapan kakaknya, ia sempat bingung tentang pakaian ganti karena tak bawa pakaian namun Lefi memberikannya pakaian yang mungkin sudah dibeli Aruna sebelum datang ke sini. Ia pun langsung masuk ke kamar mandi, meninggalkan Aruna, Lefi, dan Jarvis yang menatap sendu ke arahnya.

"Aku berusaha menghubungi Ayah dan Mama namun tak diangkat, pesan pun tak dibalas. Aku juga berusaha menghubungi Kak Faisal dan mengirim pesan lewat ponsel Kak Berlin namun hasilnya nihil."

Lefi memberitahukan hal ini saat Berlin sudah masuk ke dalam kamar mandi agar Berlin tak mendengar berita buruk ini. Aruna pun jadi cemas memikirkan bagaimana caranya memperbaiki keadaan ini, ia memijit keningnya yang terasa pening, adik keduanya selalu saja menderita dan saat kebahagiaan baru dirasakan, pasti ada saja yang merusak kebahagiaan tersebut, namun ia tak bisa menyerah begitu saja karena ia harus berusaha lebih dulu untuk kebahagiaan adiknya.

"Kita coba dulu ke rumah Faisal, walaupun kita sama-sama tahu ini mustahil."

[][][][][][][][][][][][][][][][][][]

Tangerang, 19 Januari 2022

Istri TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang