Bab -75-

15.1K 1.6K 214
                                    

"Akhirnya aku berada di titik terendahku yaitu pasrah pada apapun yang kau inginkan."
-Berlin Swastika-

Banyak yang nanya tentang cerita ini karena aku udah lama engga update, aku lagi down banget setelah cerita ini ditolak penerbit mayor jadi engga nulis lagi. Akhirnya setelah beberapa bulan bisa kembali semangat nulis, semoga kalian suka ya part ini.

Target: 200 Komen, lanjut part selanjutnya.
__________________

Setelah memanggil tim medis, akhirnya suster dan dokter datang untuk memeriksa kondisi Carol. Mereka berhasil menghentikan kejang-kejang yang dialami Carol dan tiba-tiba Carol terbangun. Ketiga saudari itu langsung tersenyum bahagia saat melihat mamanya sudah terbangun.

"Mama bangun, Mama masih hidup."

Aruna langsung memeluk mencium pipi mamanya karena sangat bahagia.  Sedangkan Carol terlihat bingung dengan kondisinya sekarang dan berusaha mengingat apa yang terjadi hingga ia teringat mengenai kecelakaan mengerikan yang terjadi padanya dan suaminya. Dengan suara pelan dan serak, Carol menanyakan keadaan suaminya.

"Bagaimana.... keadaan Ayah kalian?"

Sontak senyum di bibir tiga saudari itu langsung lenyap saat mendengar pertanyaan dari Carol. Tak ada yang berani buka suara untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dari reaksi ketiga putrinya, Carol sudah bisa menebak apa yang terjadi.

"Jacob, kenapa kau meninggalkan aku lebih dulu?"

Melihat mamanya menangis membuat tiga saudari itu khawatir karena kondisi mamanya akan semakin memburuk jika terus bersedih.

"Mama yang tenang ya, Mama harus istirahat dulu, baru kita bicara tentang Ayah."

"Maafkan Mama, Berlin. Mama... tak bisa menjadi Mama yang baik untukmu, Mama selalu mem... membandingkan mu dengan Binar dan membedakan kasih sayang untukmu dengan Binar."

"Aku sudah memaafkan Mama, Mama harus kuat demi kami bertiga."

"Mama engga kuat, Nak. Mama engga bisa hidup tanpa Ayah."

"Mama jangan mengatakan itu. Lefi engga siap kehilangan Mama."

Lefi menatap sendu mamanya yang terlihat lemah. Sedangkan Carol merasa sedih melihat tiga putrinya bersedih, mereka berempat berpelukan sambil menangis bersama.

"Lefi, kau Putri terakhirku, kau paling muda di antara ketiga saudarimu, Maafkan Mama yang tak bisa menemanimu sampai dewasa, Mama tak bisa menghadiri pernikahanmu, Mama berharap kau akan jadi perempuan yang sukses dan memiliki pasangan hidup yang baik."

"Tidak! Mama pasti bisa menemaniku sampai dewasa dan melihat pernikahanku. Mama tahu kan pernikahan idaman ku? Aku tak akan menikah tanpa kehadiran Mama."

"Jangan mengatakan itu, Nak. Untukmu, Aruna, Mama tahu kau pasti akan menjaga dan melindungi Adik-Adikmu, kau akan menjadi penggantiku, Mama harap kau akan menjadi seorang Ibu yang baik untuk anakmu kelak, jangan menjadi seperti Mama. Selamat tinggal Putri-Putriku."

Setelah itu Carol memejamkan matanya untuk selamanya dan tak lagi bernafas. Carol telah pergi selamanya dan meninggalkan tiga putrinya, menyusul suaminya yang sudah lebih menghadap Sang Pencipta.

"Mama!"

Berlin, Aruna, dan Lefi berteriak memanggil mamanya, berharap mamanya mendengar lalu terbangun namun itu percuma. Dokter dan suster menatap sendu pada tiga perempuan itu, setiap harinya mereka melihat pemandangan memilukan seperti ini dan merasa sedih pada keluarga yang ditinggalkan pasien.

[][][][][][][][][][][][][][][][][]

Pemakaman Septhi, Jacob, dan Carol dilakukan secara bersamaan sesuai kesepakatan keluarga. Tangis pilu terdengar dari pihak keluarga yang ditinggalkan. Di makam Septhi, saat petugas pemakaman sedang menguburkan peti berisi jenazah Septhi, Anjani meronta dan berteriak untuk menghentikan mereka sehingga Arman tak bisa membantu menguburkan dan harus menenangkan Anjani dengan pelukan.

Istri TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang