Bab -36-

44.5K 4.5K 58
                                    

"Saat masalah datang, harus ada satu orang yang waras atau semuanya menjadi gila dan kondisi memburuk."
-Septhi Primitya-

Target sebelumnya sudah terpenuhi.

Target selanjutnya, 1,1 K atau 1100 vote baru update.
.....................

Pemakaman Shinta dan bayinya sudah selesai dilakukan setelah proses doa untuk kedua jenazah. Sekarang semua anggota keluarga sudah pulang ke rumah. Levron yang sempat mengunjungi rumah setelah dari makam Shinta pun sudah pulang bersama Anjani.

Kini Faisal, Septhi, Binar, dan Harini duduk di sofa ruang tamu sambil mengenang apa yang sudah terjadi, tak ada yang buka suara dan memutuskan diam hingga menimbulkan keheningan di ruangan ini.

Suara tangis Anjani membuat Septhi pamit menemui puterinya dan pergi ke kamar. Binar sebenarnya ingin pergi juga dari sini karena tak mau melihat wajah dua orang paling ia benci, tapi ia tak punya tenaga untuk menggerakkan kursi rodanya menuju kamarnya sedangkan Elis tak ada di sekitarnya. Kematian Shinta dan bayinya telah menguras tenaga dan semangat hidup Binar. Di saat seperti ini, Harini masih memikirkan cara mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan pindah tempat duduk ke samping Faisal yang tadinya ditempati Septi lalu memeluk lengah Faisal.

"Aku turut berduka cita atas kematian Shinta dan bayinya, aku sedih saat mendengar kabar ini, aku tak menyangka jika Shinta akan pergi secepat ini meninggalkan kita."

"Aku tahu kau juga sedih, aku siap menyediakan bahuku untuk tempatmu menangis, aku selalu ada untukmu, Faisal."

Faisal masih diam dengan tatapan kosong ke depan dan mengacuhkan Harini yang terus bicara hingga akhirnya Harini lelah bicara pada Faisal dan pamit pulang dengan perasaan kesal. Hanya tersisa Binar dan Faisal di ruangan tersebut, Binar adalah orang yang pertama angkat suara.

"Biar aku tebak, setelah ini kau akan membunuhku."

Sontak Faisal menoleh ke arah Binar dengan tatapan tak percaya karena Binar bisa menuduhnya dengan keji. Ia bahkan spontan menggeleng karena ia tak akan melakukan itu, ia bukan pembunuh.

"Apa yang kau katakan, Binar? Aku tak mungkin membunuhmu, aku tahu kau masih tak terima dengan kematian Shinta dan bayinya sehingga terus menyalahkan aku, aku terima jika kau menyalahkan aku karena aku tahu kali ini aku salah. Tapi kenapa kau bisa menuduhku seperti itu?"

"Bukan menuduh, tapi aku mengatakan fakta yang akan terjadi. Jika kau bisa membunuh Shinta demi bayi yang sudah meninggal, sudah pasti kau bisa membunuhku asalkan anak laki-lakimu. Tidak menutup kemungkinan aku akan berada di posisi Shinta saat dokter mengatakan hanya ada satu nyawa yang akan diselamatkan dan kita sama-sama tahu apa jawabanmu."

Kali ini Faisal terdiam dan tak bisa lagi melawan argumen Binar karena logikanya mengatakan iya, walaupun hati kecilnya mengatakan tidak, tapi saat ini logikanya yang menguasai dirinya. Binar tertawa sumbang melihat diamnya Faisal yang menandakan apa yang dikatakannya benar.

"Tenang saja, Faisal. Aku siap menerima hal itu. Jika nantinya aku ada di posisi Shinta maka selamatkan bayiku, bukan diriku karena aku tak sanggup lagi hidup dengan pembunuh."

Sakit. Itulah yang Faisal rasakan setiap kali Binar menyebutnya pembunuh. Sebelumnya ia tak pernah merasakan hal ini saat dihina orang lain, biasanya hanya egonya sebagai laki-laki jantang yang terluka, tapi kali ini hatinya juga terluka.

"Bagaimana caranya agar membuatmu memaafkan ku dan melupakan kesalahanku?"

"Sampai mati pun aku tidak akan lupa siapa yang membunuh Shinta."

"Aku hanya menyelamatkan anakku, dia adalah darah dagingku, apa itu salah? Apa aku sebagai seorang ayah salah karena menyayangi anaknya?"

"Salah! Kau jelas salah! Dokter berulang kali mengatakan tak ada harapan untuk bayimu! Tapi kau terus mempertahankan egomu sehingga Shinta ikut meninggal."

Keduanya terlibat pertengkaran yang membuat Septhi langsung keluar dari kamarnya karena khawatir keduanya akan saling menyakiti satu sama lain jika terus dibiarkan berdua saja. Septhi langsung datang sebagai penengah di antara mereka.

"Ada apa ini? Kalian bertengkar lagi?"

"Bantu aku ke kamar, Septhi. Aku tidak kuat terus berada di sini atau dia akan membunuhku juga karena egonya."

Binar menatap tajam ke arah Faisal, Septhi pun langsung menyetujuinya dan mendorong kursi roda Binar dengan lembut masuk ke dalam kamar.

"Jangan terlalu sering bertengkar dengan Faisal, Binar. Itu tidak baik untuk kesehatan janinmu."

Sambil membantu Binar naik ke atas tempat tidur, Septhi menasehati Binar. Sedangkan Binar hanya diam, Septhi tahu jika Binar akan sulit menerima ucapannya. Ia pun maklum karena Binar masih merasa sedih akan kematian Shinta sehingga setiap melihat Faisal langsung emosi. Ia pun menarik selimut untuk menutupi tubuh Binar sampai batas pinggang.

"Tidurlah, saja kemarin kau belum tidur. Aku akan menyuruh Elis membawakan makan siangmu. Jaga kesehatanmu, ingat ada janin dalam perutmu yang harus kau jaga."

"Terima kasih, Septhi."

Binar bersyukur di saat terpuruk seperti ini, ia masih punya Septhi yang memikirkan kondisi tubuhnya dan mengingatkan dirinya di saat ia terkadang lupa dengan kondisinya sendiri. Septhi pun keluar dari kamar Binar lalu kembali ke ruang tamu, Faisal masih di sana dan merenung. Ia duduk di samping suaminya dan merangkul suaminya.

"Kau terlihat begitu lelah, Faisal. Kau juga belum makan sejak kemarin, mau makan dulu?"

"Aku sedang tidak ingin makan."

"Aku tahu kau merasa bersalah atas apa yang terjadi, kau juga terus memikirkan ucapan Binar, namun kau harus mengerti jika apa yang Binar katakan karena dia masih trauma atas apa yang terjadi. Binar juga sedang hamil jika kau terus membalas ucapannya dengan emosi maka itu akan mempengaruhi kandungannya. Jangan lakukan kesalahan yang sama pada Binar."

"Aku akan mencoba mengerti Binar."

"Bagus, sepertinya kau harus tidur, kau pun harus menjaga kesehatan Faisal."

Faisal pun mengangguk dan pergi menuju kamarnya. Septhi menatap punggung suaminya dengan tatapan sendu. Saat ini keluarganya sedang diserang badai yang besar dengan kematian Shinta dan bayinya. Ia tak tahu sampai kapan ia bisa bertahan sebagai orang normal padahal dirinya pun lelah dan butuh teman cerita.

[][][][][][][][][][][][][][][][][][]

Tangerang, 19 Oktober 2021

Istri TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang